Setelah beberapa hari ikut menyiapkan dan berpartisipasi dalam Purnama di Jambuan (selanjutnya disingkat PDJ), 21-22 Juli 2024, akhirnya kami bisa menyempatkan diri untuk menulis tentang even multibentuk tersebut. Tentu tidak cukup untuk bercerita tentang bentuk, misai, dan kepentingan dari beberapa kegiatan dalam PDJ hanya satu tulisan.
PDJ merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan (Pusakajaya-UNEJ), dan warga Lingkungan Jambuan Kelurahan Antirogo, Jember. Even multibentuk ini bertujuan untuk memahami permasalahan yang dihadapi warga Jambuan di tengah-tengah laju pembangunan yang ekspansionis, seperti proyek perumahan yang menggunakan lahan produktif.
Ekspansi terus-menerus proyek perumahan akan mempersempit lahan sawah yang merupakan modal ekonomi warga. Dampak negatifnya, warga bisa mengalami masalah serius setelah mereka menjual lahan sawah mereka ke pengembang. Selain itu, pembabatan rumpun bambu dan pengeprasan gumuk dapat menimbulkan masalah mengeringnya mata air, ketiadaan pelindung alami dari hantaman angin kencang, dan semakin panasnya temperatur kawasann.
Dengan aktivitas kebudayaan berbasis komunitas diharapkan warga bisa menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya mempertahankan lahan pertanian, rumpun bambu, mata air, sungai kecil, dan gumuk bagi eksistensi mereka. Kegiatan budaya bertujuan mengajak warga Jambuan untuk memperbaiki kesadaran ekologis yang berdampak pada kesiapan dan kesigapan warga untuk memperkuat batin mereka dalam mempertahakan ekosistem kawasan. Inilah jalan kebudayaan.
PDJ sudah berlangsung sejak tahun 2022. Kegiatan-kegiatan kultural yang dilakukan antara lain: pengenalan kembali permainan rakyat yang mengandung nilai-nilai positif, ritual di mata air, pertunjukan kesenian rakyat, dan diskusi.
Mengapa Nyambhengih Sombher?
Kami mengawali tulisan dari kegiatan pertama, Nyambhengih Sombher, mengunjungi shomber (mata air atau belik dalam bahasa Jawa). Kegiatan ini dilaksanakan pada Minggu pagi (21/07), melibatkan anak-anak Jambuan dengan didampingi panitia dan tokoh masyarakat.
Apakah kegiatan ini terinspirasi tayangan Si Bolang? Bisa jadi iya, karena memang ada nuansa petualangan, mengajak anak-anak untuk berkeliling dari satu mata air ke mata air lain. Kami melintasi pematang sawah, jalan setapak di bawah gumuk, jalan makadam, rumpun bambu, dan sungai kecil. Namun, tidak seperti Si Bolang yang biasanya memasak, anak-anak Jambuan menikmati petualangan untuk mengunjungi mata air.
Panitia mengajak mereka ke tiga sombher di Jambuan, yakni shomber Gumuk Cabih, Paras, dan Guntoh. Ketiga sombher terletak di tempat yang berbeda dengan total jarak tempuh sekitar 2 KM. Karena menjalaninya dengan riang gembira, anak-anak pun tidak ada yang berkeluh-kesah. Bukan tanpa alasan kami mengajak mereka melakukan kegiatan ini. Di Jambuan terdapat lebih dari lima sombher yang airnya mengalir setiap tahun. Air tersebut mengalir ke sungai kecil yang menginduk ke Sungai Bedadung.
Selain untuk mengairi tanaman seperti padi, jagung, tembakau, dan sayuran, air dari sumber juga dimanfaatkan warga untuk mandi. Air bening yang terus mengalir bagi warga tidak merugikan kesehatan mereka. Memang tidak semua warga yang mandi menggunakan di sungai kecil. Warga yang secara ekonomi mampu sudah membuat kamar mandi di rumah mereka. Namun, bagi warga miskin, mandi di sungai kecil masih menjadi pilihan.
Ketergantungan warga terhadap sombher menjadi alasan utama untuk menyelenggarakan Nyambhengih Sombher. Anak-anak adalah generasi penerus Jambuan yang mesti tahu pentingnya manfaat mata air bagi kehidupan masyarakat. Maka, merawatnya dengan melakukan tindakan-tindakan empatik menjadi penting.
Di setiap sombher tokoh agama mengajak anak-anak dan semua panitia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar sombher tetap lestari mengalirkan air untuk warga. Tokoh agama juga meminta para penunggu yang diutus Tuhan agar terus menjaga sombher.
Apakah para penunggu itu malaikat, jin baik, atau arwah leluhur? Kami tidak tahu. Namun, menurut keyakinan warga para penunggu itu tidak jahat kecuali warga melakukan tindakan-tindakan yang kurang baik. Keberadaan mereka tidak harus dikaitkan dengan stigma syirik, karena para penunggu yang diyakini warga tersebut juga makhluk Tuhan.
“Yang terpenting kita tidak memanfaatkan mereka untuk tujuan jelek, semisal meminta bantuan mereka untuk mendapatkan kekayaan dengan cara ghaib yang tidak dibenarkan. Maka, kita mesti menyapa mereka sebagai sesama makhluk Tuhan,” begitu tutur Pak Wahyu, sesepuh sekaligus tokoh agama di Jambuan.
Bagi kami, pemahaman seperti itu menjadi penanda bahwa dalam memaknai relasi dengan sesama makhluk, manusia bisa mengembangkan sikap empati yang melampaui batasan ghaib yang oleh nalar modern selalu diragukan beradaannya karena tidak dapat dilogikakan dan dibuktikan secara empiris.
Manusia dibuat berjarak dan tidak percaya dengan eksistensi makhluk ghaib. Dampaknya, mereka pun tanpa beban merusak pohon-pohon besar yang dikatakan ada penunggunya. Padahal akar-akar pohon-pohon tersebut bisa menyerap dan menyimpan air hujan yang masuk ke dalam tanah. Untunglah, pohon-pohon besar dan rumpun bambu di Jambuan masih terjaga.
Mentransformasi Keyakinan
Warga Jambuan—dan juga banyak warga komunitas lain—menolak stigmatisasi syirik ketika mereka menyapa dan mendoakan para leluhur ataupun para penunggu ghaib kawasan sumber dan pohon besar. Warga berharap, dengan menyapa dan mendoakan para leluhur dan penunggu ghaib, mereka akan ikut mendoakan kepada Tuhan agar mata air tetap terjaga.
Kami membaca keyakinan tersebut sebagai upaya ekologis untuk menyelamatkan mata air dan pepohonan. Kemauan untuk terus mengupayakan relasi harmonis dengan alam dan sesama makhluk merupakan cara masyarakat lokal untuk ‘bernegosiasi’ di tengah-tengah modernitas yang mereka jalani dan rasakan.
Semodern apapun mereka, kebutuhan akan air dan pangan tak bisa ditolak. Sementara, di lingkungan mereka mata air melimpah dan sawah pun tidak kesulitan untuk mendapatkan air. Maka, merawat mata air dengan laku budaya yang melibatkan anak-anak Jambuan merupakan upaya transformasi kesadaran ekologis komunitas kepada benak dan batin generasi penerus, tanpa harus dibenturkan dengan ajaran agama.
Itulah mengapa dalam Nyambhengih ada peserta yang diminta membawa ancak (wadah untuk makanan dalam ritual terbuat dari pelepah pisang) yang menjadi tempat nasi putih yang diberi telur rebus di bagian tengah. Pada setiap sombher, satu ancak dengan nasi rasul akan diletakkan di atas batu.
Ancak terbuat dari pelepah pisang merupakan unsur alam yang banyak terdapat di Jambuan. Di bagian bawah, dipasang penyangga dari bilah bambu yang ditusukkan ke pelepah. Wadah untuk ritual dari pelepah pisang dan bambu menandakan masih kuatnya ikatan manusia dengan alam. Ketika rituak ditujukan untuk mata air, maka sudah semestinya wadah yang dibutuhkan juga berasal dari alam.
Penyangga ancak berjumlah lima bilah bambu. Mengapa lima? Itu adalah cara warga Jambuan mengejawantahkan rukun Islam. Bilah-bilah bambu tersebut didesain saling menopang dan terkait satu sama lain. Maka, memahami rukun Islam tidak boleh terpisah-pisah. Alih-alih, harus dipahami secara menyeluruh, terintegrasi satu sama lain.
Begitupula relasi manusia dengan alam, makhluk lain, dan Tuhan, yang mesti berjalan dalam keseimbangan. Ketika manusia merusak alam, maka keseimbangan akan terganggu sehingga muncul bermacam bencana, seperti kekeringan, banjir, angin putting beliung, tanah longsor, dan lain-lain.
Dalam konteks masyarakat Jambuan, ketika warga sudah berani menebang pohon di kawasan mata air, membabat habis rumpun bambu, dan membuang sampah sembarangan, maka mereka tinggal menunggu waktu datangnya bencana. Mata air, misalnya, akan berhenti mengalir ketika pohon-pohon besar dan rumpun bambu habis. Begitupula ketika tempat keluar air tertutup tumpukan sampah plastik, air akan berhenti mengalir.
Adapun telur yang diletakkan di atas nasi bermakna “bakal” atau “calon” yang diharapkan akan terwujud setelah pelaksanaan ritual. Maksudnya, harapan warga, anak-anak, dan panitia untuk melestarikan mata air adalah bakal yang ada dalam batin dan mengalir dalam doa. Ketika Tuhan mendengar, maka kemungkinan harapan tersebut akan terwujud. Tentu, harus diimbangi dengan upaya kongkrit, seperti menjaga kawasan bambu dan pepohonan.
Setelah tokoh agama memimpin doa, salah satu panitia mengajak anak-anak untuk terus menjaga kebersihan serta tidak membuang sampah di kawasan mata air. Anak-anak juga diajak menjaga pohon di sekitar mata air dan di kawasan Jambuan. Pohon-pohon itulah yang menyerap air hujan yang akan keluar sebagai mata air.
Kalau para leluhur meyakini pohon besar di sekitar mata air dihuni penunggu ghaib, maka keyakinan tersebut mesti dijelaskan ke dalam bahasa anak-anak yang lahir di era modern. Bahwa bisa jadi penunggu ghaib itu memang ada. Namun, keberadaan mereka tak perlu ditakuti karena berperan dalam menjaga kawasan agar tidak semena-mena dirusak oleh manusia.
Selain itu, pemahaman anak-anak perlu diperkaya dengan pengetahuan tentang fungsi pepohonan yang sangat penting dalam melestarikan mata air. Dengan demikian, anak-anak akan terhubung dengan kekayaan alam Jambuan dengan makna-makna kekinian sebagaimana diterima di bangku sekolah, tanpa harus menyalahkan keyakinan para leluhur.
Tentu, ke depannya, anak-anak juga perlu diajak untuk menanam bibit pohon yang sangat bagus untuk menjaga air di dalam tanah. Mereka perlu mendapatkan teladan terkait bagaimana mentransformasi keyakinan dan pengetahuan ke dalam tindakan-tindakan praksis yang berdampak postitif.