Modernisme yang semakin berkembang pesat tidak terlepas dari kemajuan zaman hari ini. Alhasil kemudahan akses terutama di bidang teknologi menimbulkan dampak negatif yang patut kita sadari bersama-sama. Masyarakat post-truth ini merupakan gejala negatif dari proses modernisasi umat manusia. Pada satu sisi ummat manusia dimudahkan untuk bertukar informasi namun disisi lain juga melahirkan disrupsi informasi yang mengancam pada kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya .
Fenomena post truth sendiri dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana seringnya fakta aktual digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi dalam upaya mempengaruhi opini publik. Fakta atas suatu peristiwa biasanya disajikan dengan manipulasi sebuah informasi agar sesuai dengan intensi atau kepentingan si penyebar berita, atau lebih buruknya yang disebarkan bukanlah fakta sama sekali. Dengan demikian, di era melimpahnya sumber informasi masyarakat Indonesia harus benar-benar menelaah betul informasi yang di dapat dari media sosial merupakan fakta atau hoaks.
Penetrasi pengguna Internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia meningkat menjadi 79,5%. Dengan demikian terdapat 221,563,479 jiwa penduduk terkoneksi dari total populasi 278,6 juta jiwa.
Dengan banyaknya pengguna Internet di Indonesia, dilansir dari laman Katadata Insight Center, terdapat 30 sampai 60 persen orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara itu, hanya terdapat 21 sampai 36 persen saja jumlah masyarakat yang mampu mengenali dan memilah informasi yang didapatkan.
Hal ini tentu menjadi ancaman nyata di era post truth hari ini. Terlebih para pelaku post truth ini memiliki tujuan lebih dari sekedar menyebarkan berita atau informasi bohong. Tetapi menggiring opini publik dengan cara menyebarkan data yang tidak lagi aktual dan faktual untuk kepentingan kelompok penyebar post truth.
Perlu pembaca ketahui ada dua sudut pandang mengapa fenomena post truth ini lahir, yaitu sudut pandang filsafat dan sosiologi.
Pertama, dari sudut pandang filsafat, keberadaan post truth hadir berkat perkembangan paham post modernisme. Post modernisme adalah paham yang berkembang sebagai pertentangan terhadap paham modernisme yang kekurangan unsur manusia. Bagi para pengikut paham ini, setiap orang memiliki hak untuk menginterpretasikan segala sesuatu sesuai pemikiran dan penafsirannya. Hal ini terjadi karena kebenaran yang dibenarkan saat kini sifatnya masih relatif.
Kebenaran sifatnya masih penafsiran sehingga belum tentu menyajikan kebenaran yang sebenar-benarnya. Selain itu, bagi para pengikut post-modernisme, pemikiran-pemikiran para ahli di masa lalu (Misalnya Karl Marx) tidak dapat dipercaya sepenuhnya karena mereka tidak terbukti mampu menjawab tantangan sosial-budaya. Karena itu dalam post modernisme, ilmu tidak bersifat universal, harmonis, dan konsisten. Dengan demikian maka yang paling ditonjolkan adalah pluralisme dengan nilai manusia sebagai penekanannya dan penjelasan yang sifatnya universal beralih menjadi particular.
Kedua, dari sudut pandang sosiologi. Kemunculan era ini disebabkan oleh perubahan sistem komunikasi dalam masyarakat. Dengan hadirnya revolusi 4.0, terjadi perubahan sistem informasi dengan hadirnya jejaring maya yang mengubah sistem komunikasi dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi dengan cepat dan pesat menyebabkan informasi tidak dapat terbendung. Akibatnya suatu hari, menusia akan menggabungkan perasaan dan kebenaran menjadi satu tanpa memisahkan antara kebenaran dan emosi demi kepentingannya.
Perkembangan post truth di masyarakat juga dapat menjadi potensi bencana, sebab kehadiran informasi yang disalahgunakan oleh suatu kelompok untuk kepentingan tertentu dapat menimbulkan konflik sosial mulai perang ideologi hingga konflik. Negara-negara multikultural sangat rentan terkontaminasi post trurh era, contohnya Amerika Serikat.
Di lansir dari McComiskey menemukan bahwa pasca pemilu Amerika Serikat tahun 2016, terjadi peningkatan kasus perundungan terhadap anak-anak imigran muslim disana. Hal ini terjadi karena pidato Presiden Donald Trump yang mengungkapkan bahwa para imigran muslim dilarang masuk Amerika karena dicurigai biang keladi terorisme tanpa rujukan yang jelas. Karena laju informasi yang sangat besar dan kurangnya kemampuan masyarakat dalam memilah informasi menyebabkan terjadinya konflik tersebut. Selain itu, menurut temuan Sismondo, post truth menyebabkan informasi yang beredar di Amerika Serikat berada dalam batas dungu untuk membedakan yang nyata dan palsu.
Di Indonesia sendiri, post truth merupakan fenomena baru. Fenomena post truth dapat dirasakan sejak pemilihan umum tahun 2019, dimana terjadi lonjakan informasi yang tersebar di media sosialnya. Akibatnya batasan kebenaran suatu informasi juga semakin buyar. Keberadaan post truth menjadi wabah buruk dalam diseminasi ilmu pengetahuan di Indonesia.
Lantas bagaimana solusi untuk menginfiltrasi sumber berita atau informasi yang kita dapatkan di media sosial agar terhindar dari post truth era. Penulis mencoba membagikan tips agar kita bijak bermedia sosial maupun mencerna informasi yang kita peroleh dengan cara mencari tau kebenaran informasi yang di dapat sampai ke akar-akarnya, selalu tanamkan mindset bahwa di media sosial semua orang palsu, yang nyata hanyalah dunia nyata itu sendiri. Dengan menerapkan system di atas. Setidaknya kita meminimalisir dari ancaman post truth era yang dewasa ini lajunya semakin massif.