NEGERI TABOLA-BALE (Bagian Kedua, Habis)

SKEMA (Sketsa Masyarakat)

Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan

 

‘Terbolak-balik’ memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan bentuk kata dasarnya ‘bolak-balik’.

Jika ‘bolak-balik’ berarti pulang-pergi yang menggambarkan rutinitas sebuah pola, maka ‘terbolak-balik’ menggambarkan situasi berlawanan dengan yang seharusnya. Saat kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala. Ketika preman jalanan bergaya negarawan dan para pencari cuan berlagak pahlawan. Tabola bale.

 

Gejala mengkhawatirkan ini semakin banyak bermunculan seperti jamur di musim hujan. Mantan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim beberapa hari lalu dipanggil KPK terkait penggunaan Google Cloud di lingkungan Kemendikbudristek. Kasus ini terpisah dari pengadaan Chromebook yang sedang ditangani Kejaksaan Agung.

 

Pun koleganya, mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, juga dipanggil KPK menyangkut dugaan korupsi pengelolaan 20.000 kuota tambahan haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi. Seharusnya rasio 92% untuk haji reguler (18.400 jamaah) dan 8% untuk haji khusus (1.600 jamaah) sesuai UU Kuota Haji No. 8/2019. Namun dalam praktiknya Kemenag era Yaqut membagi pro-rata menjadi 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus, di tengah kondisi antrean haji reguler yang sudah mencapai puluhan tahun.

 

Ini mencemaskan karena posisi Menteri Pendidikan dan Menteri Agama merupakan dua fondasi penting pembentukan karakter bangsa. Seharusnya kedua mantan menteri meninggalkan pos masing-masing dengan nama harum seperti Ki Hadjar Dewantara dan KH Wahid Hasyim meninggalkan jabatan serupa. Sayangnya, Nadiem dan Yaqut gagal total mengikuti jejak kedua senior mereka dalam dedikasi terhadap negeri.

 

Contoh lainnya Silfester Matutina, terpidana inkrah dengan vonis 1,5 tahun penjara melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 287K/Pid/2019 tertanggal 20 Mei 2019 yang bersifat final dan mengikat. Nyatanya Silfester bukan saja masih melenggang bebas dan diundang televisi nyaris setiap hari selama enam tahun terakhir, bahkan diangkat sebagai komisaris independen satu BUMN bidang pangan oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada Maret 2025. Ini anomali yang hanya bisa terjadi di negeri dengan logika tabola-bale. 

 

Dalam skala lebih luas, bursa komisaris BUMN belakangan ini semakin gamblang menunjukkan pengingkaran terhadap prinsip meritokrasi yang dipostulasikan Michael Young. Seharusnya rekrutmen dilakukan berdasarkan prestasi, kemampuan yang sesuai, dan kinerja, bukan karena koneksi sosial apalagi sebagai balas jasa loyalitas dukungan politik. Dalam kenyataannya? Politik balas jasa yang menjadi sandaran utama. Tabola bale.

 

Satu contoh berikutnya yang sedang ramai adalah bendera One Piece. Ketika penggemar manga (komik Jepang) yang memasang bendera itu baik tunggal atau di bawah bendera Merah Putih, sebagian pejabat pemerintah menuding adanya usaha memecah belah masyarakat dan desakralisasi terhadap bendera negara.

 

Tetapi saat Gibran Rakabuming Raka memakai pin kecil One Piece saat debat wakil presiden pada 21 Januari 2024, alasan yang disampaikan adalah untuk merangkul para pemilih muda alias para wibu penggemar anime dan manga. Alias sebagai pesan bahwa dia dekat dengan milenial dan Gen Z karena manga One Piece ciptaan Eiichiro Oda–pertama kali dipublikasikan pada 22 Juli 1997–sangat familiar bagi mereka.

 

Bahkan tak hanya Gibran, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun seorang fans One Piece. Pada akun instagramnya (@smindrawati) 30 Juli 2023 memampangkan tiga foto diri memakai topi jerami ala Monkey D. Luffy, tokoh utama One Piece. Sri berpose khas seperti Luffy dan menyebut sang kapten bajak laut topi jerami sebagai tokoh idolanya. Pesan yang beliau sampaikan terasa hangat dan konstruktif tentang persahabatan, membantu bagi yang membutuhkan, semangat mewujudkan mimpi, dan jangan pernah menyerah.

 

Maka, bagaimana bisa dari produk turunan (bendera, topi, pin) sebuah komik yang sama memiliki pesan berbeda? Jika digunakan rakyat jelata pesannya negative-insinuatif sedangkan jika digunakan pejabat negara menjadi pesan positif-inspiratif? Polarisasi tafsir ini terjadi tersebab logika terbola-bale yang kering humor. Padahal sudah ada contoh yang dilakukan Abdurrahman Wahid ketika menjabat presiden.

 

“Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora,” ujar Menko Polkam Wiranto kepada Presiden Gus Dur seperti ditulis Muhammad AS Hikam dalam “Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita” (2013).

 

Mendengar laporan itu Gus Dur bertanya, “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?”

 

“Ada. Hanya satu, tinggi,” jawab Wiranto. “Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,” jawab Gus Dur santai. “Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya,” tukas Wiranto.

 

Gus Dur merespon, “Pikiran Bapak yang harus berubah. Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul? Sepak bola saja banyak benderanya!”

 

Momentum 80 Tahun Kemerdekaan yang jatuh pada bulan ini, sekaligus 10 bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bisa menjadi saat yang tepat bagi Presiden untuk menertibkan pola pikir tebola bale, dimulai dari jajaran pengelola negara dari pusat sampai daerah.

 

Presiden Prabowo Subianto yang luas dikenal sebagai pecinta buku dan ilmu pengetahuan, harus secepatnya mengembalikan dan memberi teladan contoh berpikir dan bertindak yang tidak terbola bale. Dimulai dengan menerapkan standar superketat bagi menteri dan pejabat setingkat menteri, wakil menteri, termasuk juga para komisaris BUMN. Prinsip meritokrasi dalam rekrutmen harus menjadi harga mati yang tak bisa dikompromikan lagi.

 

Ini agar Indonesia kembali berjalan sesuai rel keinginan para pendiri bangsa demi mencapai Indonesia Emas 2045.

 

Tanggapan untuk tulisan ini juga bisa dikirimkan melalui e-mail: akmal.n.basral@gmail.com

Pos terkait

banner 468x60