Rindu yang Terbang Bersama Awan

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi pantai dan pegunungan, keindahan seakan tak pernah bosan untuk dipandang. Senja di ufuk barat menghiaskan warna jingga yang memantul di lautan lepas, sementara pagi dengan suasana pegunungan dengan suacara kicauan burung di pagi hari dan rombongan burung beterbangan di sore hari turut menghiasi suasana serta seakan ikut menjaga kedamaian desa itu..

 

Namun, di balik keindahan itu, tersimpan sebuah kisah pilu seorang anak bernama Budi. Ia hanya tingga bersama ibunya sejak sang ayah meninggalkannya, saat usia baru menginjak tiga tahun yang terlalu muda untuk nak seusia itu untuk bisa mengingat wajah, suara, bahkan pelukan terakhir sang ayah.

 

Kala sore, Budi selalu memandang langit. Matanya selalu berbinar setiap kali mendengar suara pesawat yang melintas. Bagi Budi, pesawat bukan sekadar besi terbang di angkasa sana, melainkan sebuah harapan besar. Dulu, ayahnya sering bepergian dengan pesawat, Ketika pergi untuk merantau demi keluarga. Hingga kini, Budi tetap menanti kabar itu, seakan suatu saat ayahnya akan kembali turun dari langit biru itu.

 

Setelah itu, dengan polos ia bertanya kepada sang ibu,

“Bu, barusan ada pesawat. Apa ayah sebentar lagi akan pulang?”

 

Pertanyaan sederhana, namun menusuk hati sang ibu. Matanya berkaca-kaca, tapi ia memilih tersenyum sambil memeluk erat anak tunggalnya itu.

 

“Iya, Nak. Itu pesawat ayah. Ayah pasti akan segera pulang,” ucapnya lirih, menahan perih yang tak terucap.

 

Esok paginya, Budi berdiri di bawah foto ayah yang tergantung rapi di ruang tamu. Tatapan matanya sendu, suaranya bergetar, lalu dia berkata,

 

“Kenapa ayah tidak pernah pulang? Apa ayah benci sama aku? Apa ayah sudah tidak sayang lagi pada aku dan ibu?”

 

Ia tidak benar-benar mengerti, tapi kerinduan dalam hatinya begitu nyata dan menyalahkan semua hal pada foto ayahnya yang terpajang rapi.

 

Hingga suatu malam, hujan turun deras, Budi kembali bertanya dengan wajah penuh tanda tanya,

“Bu, kenapa ayah meninggalkan kita? Apakah ayah sudah tidak sayang lagi sama kita?”

Sang ibu menunduk, lalu dengan lembut ia berkata,

“Nak, mungkin Allah lebih sayang pada ayahmu, jadi Allah memanggilnya lebih dulu.”

 

Budi terdiam, lalu menangis.

“Tapi aku kangen banget sama ayah, Bu. Aku rindu suaranya… Aku iri sama teman-teman di luar sana yang bisa main sama ayahnya…”

 

Ibunya tak mampu berkata banyak. Ia hanya menggandeng tangan Budi menuju kamar yang dulu pernah menjadi milik ayahnya. Dibukanya lemari lama yang penuh dengan barang-barang kenangan milik ayahnya.

 

“Ini, Nak… semua milik ayahmu. Ada baju, topi, dan kacamata ayah.”

Dengan penuh rindu, Budi memegang satu per satu benda itu. Ia memeluknya seolah bisa merasakan kembali hangatnya kehadiran sang ayah. Air mata mengalir di pipinya, bercampur antara kerinduan dan ketidakpercayaan bahwa ayahnya benar-benar telah pergi meninggalkannya.

 

Malam itu, kesedihan Budi sedikit terobati. Lalu ibunya memberinya sebuah ponsel milik ayah. Ternyata, di dalamnya tersimpan rekaman-rekaman video yang menampilkan wajah ayah, suara ayah, candaan ayah bersama Budi kecil. Saat menonton, Budi tak kuasa menahan tangis, namun senyum juga terukir di wajahnya. Ia merasa seakan ayah hadir kembali, meski hanya lewat layar kecil itu dan budi merasa rasa rindunya seakan terobati untuk sementara waktu hingga ia tertidur.

 

Tak terasa dengan berjalannya waktu seiring berganti Hari berganti, telah membentuk budi menjadi anak yang sudah mulai dewasa, Kini Budi telah berusia 12 tahun, duduk di bangku akhir sekolah dasar. Ia mulai mengerti sebuah arti dari kehilangan, ia mulai belajar berdamai dengan kenyataan. Ia sadar, sejak usia tiga tahun ia sudah ditinggalkan ayah untuk selama- selamanya. Namun, melihat semangat ibunya yang tak pernah padam membuat Budi tetap tegar.

 

Terkadang, ia masih merasa sedih ketika melihat senyum teman-temannya yang ceria bersama ayahnya. Tapi Budi percaya, ayahnya akan selalu ada di langit sana dan memandanginya dengan bangga, serta selalu mendoakannya agar kelak menjadi orang sukses.

 

Dan setiap kali sebuah pesawat melintas, Budi selalu menengadah ke langit, bukan lagi untuk menanti kepulangan ayah, melainkan untuk menyapa dengan penuh keyakinan dan kepercayaan.

 

“Ayah… aku tak lagi menunggu kepulanganmu, sebab aku tahu langit telah menjadi rumahmu sekarang. Tapi percayalah, rinduku tidak pernah padam. Aku akan tumbuh menjadi anak yang hebat, aku akan belajar hingga aku tidak mudah dibodohi orang, dan suatu hari nanti aku pun akan terbang. Bukan untuk mencari kehilangan, melainkan untuk meneruskan jejak yang kau tinggalkan di masa lalu dan lihat aku ayah… Suatu hari nanti aku akan membuatmu bangga dan tersenyum disana.”

Pos terkait

banner 468x60