Sajak Politik Tanpa Gosok Gigi

Semenjak aku masuki ruang itu, lidahku seperti dilahirkan rutin upacara, fasih mengucap siap grak dengan gema bunyi uang logam jatuh di kotak tabungan. Tanda seru lalu mengambang di ruangan meminta grak sebagai jawab demi dompet kosong dan tagihan utang.

 

Di kali lain, mulutku dilahirkan cuplikan cuplikan, kuguntingi lidah yang dikalungi tanda pengenal, juru bicara deretan abjad yang antri di baliho banner dan lembar visual menawarkan matanya yang paling sahih jernih, melompati genangan ari ari dan melupakan sirene ambulan.

Aku seperti mata gunting yang haus menciptakan kliping di kamar, alpa pada dahi istriku yang berembun dalam tetes hujan

 

Apa lidahku siapa mulutku. jendela dengan engsel karatan. Angin duduk sedang bermain di halaman 1 kali 3 meter. Halaman haLaman yang menyulap jagung dan padi jadi tumpukan paving dan batu bata. Sambil mengkhayal nasi bungkus seharga enam ribu akan buka abadi dijual di pinggir jalan, menunggu uang logam dari tangan yang dipatahkan jalan. Puisi paling kekal sejak zaman kolonial hingga air mata telah mengkristal dalam kode digital politik tanpa gosok gigi

Pos terkait

banner 468x60