Bagi saya, berjumpa dan berbincang dengan para pelaku dan penikmati seni di kawasan perdesaan Jember selalu menghadirkan keindahan dan kebahagiaan yang patut disyukuri.
Dari perbincangan itulah kami bisa dengan santai dan akrab mendiskusikan banyak hal, dari ragam potensi budaya yang masih berkembang hingga permasalahan yang dihadapi para pelaku di tengah-tengah perubahan selera kultural masyarakat desa dan ketidakjelasan kebijakan Pemkab Jember.
Maka, ketika Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) mengundang saya untuk hadir dalam pertemuan rutin dengan para pelaku dan penikmat seni di Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari, Jember, Sabtu malam (20/3), saya pun dengan senang hati berangkat.
Dalam pertemuan yang bertempat di rumah Sucipto ini, lebih dari seratus lima puluh pelaku dan penikmati seni hadir, meskipun tidak ada jamuan istimewa. Mereka hadir karena sama-sama ingin bersilaturahmi dan bertukar pikiran.
Tidak hanya dari Umbulsari, para seniman dari Ledokombo, Sukowono, Panti, Sumbersari, Ambulu, Wuluhan, Puger, Semboro, dan Sumberbaru, juga berkenan hadir, meskipun tanpa mendapatkan uang transportasi.
Ini menegaskan bahwa mereka masih memiliki komitmen untuk bersama-sama memperjuangkan kesenian dan kebudayaan melalui aktivitas nyata, sesederhana apapun.
Saya mencatat beberapa hal yang menarik dari perbincangan yang dipimpin langsung oleh Sucipto, seniman dan penggiat sosial di kawasan barat Jember ini.
Pertama, para pelaku dan penikmat seni harus terus menjaga kekompakan dan kebersamaan untuk bersiasat secara kreatif dan transformatif di tengah-tengah semakin kuatnya pengaruh budaya asing.
Diakui atau tidak, budaya asing sudah menjadi ‘tamu sehari-hari’ dalam kehidupan warga desa. Dari layar televisi dan handphone, warga desa, dari anak-anak hingga dewasa, bisa mendapatkan banyak nilai dan praktik budaya yang berbeda dengan budaya leluhur.
Para pelaku seni tidak perlu menyalahkan kehadiran budaya asing tersebut. Sebaliknya, pelaku seni harus mau untuk terus berusaha untuk membawa karya mereka ke tengah-tengah masyarakat dengan beberapa penyesuaian estetik. Siasat ini diharapkan tetap bisa menjadikan warga desa tertarik untuk menonton jaranan, reyog, wayang kulit, dan yang lain.
Kedua, para pelaku seni perlu terus mendorong terjadinya “regenerasi penikmat seni.” Hal ini bisa dilakukan dengan cara formal dan informal. Secara formal, para seniman dan komunitas budaya bisa bekerjasama dengan pihak sekolah, dari tingkat SD hingga SMA, untuk mensosialisasikan secara kreatif kesenian mereka kepada para pelajar.
Mereka bisa menggelar pertunjukan pendek atau bisa menjadi pelatih kesenian di sekolah. Dengan demikian, para pelajar tidak kehilangan relasi imajiner dan faktual dengan kekayaan kesenian rakyat di wilayah mereka, meskipun mereka sudah terbiasa dengan drama dan musik Korea serta terbiasa dengan game online dan media sosial.
Cara berikutnya yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan komunitas kaum muda penggemar atau penikmat kesenian rakyat. Di Sukoreno, misalnya, kita bisa menjumpai KPSI (Komunitas Pecinta Seni Indonesia) yang terdiri dari kaum muda. Selain itu ada pula PJW (Paguyuban Jagong Wayang) yang terdiri dari bapak-bapak setengah baya.
Ketiga, sebagaimana disampaikan Ketua DeKaJe, Eko Suwargono, para akademisi harus turun ke bawah untuk membersamai para pelaku seni dan penggiat budaya guna melakukan upaya perlindungan objek pemajuan kebudayaan (OPK) di masyarakat.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah inventariasi dan dokumentasi OPK di desa. Aktivitas tersebut perlu dilakukan agar para seniman dan penggiat budaya memiliki database potensi sepuluh OPK sesuai amanah UU Pemajuan Kebudayaan, yakni manuskrip, adat istiadat, bahasa, seni pertunjukan, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, olahraga tradisional, tradisi lisan, dan ritus.
Memang, selama ini DeKaJe sudah berusaha mengumpulkan data sepuluh OPK di Jember. Namun, masih belum sempurna. Kontribusi penggiat budaya dan akademisi masih dibutuhkan. Bagi pelaku seni keberadaan database sepuluh OPK akan memudahkan mereka untuk melakukan laku kreatif berbasis kekayaan budaya di sekitar mereka.
Keempat, para seniman bersepakat bahwa Pemkab Jember di bawah kepemimpinan Bupati Hendy dan Wabup K.H. Firjaun sebagai representasi Negara tidak hadir dalam usaha untuk pemajuan kebudayaan.
Realitas ini tentu memprihatinkan karena dalam UU Pemajuan Kebudayaan, pemkab memiliki peran, tanggungjawab, dan kewajiban dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sepuluh OPK.
Wujudnya, tentu, bukan hanya sekedar formalitas belaka, alih-alih harus benar-benar bisa dirasakan dampaknya oleh pelaku seni dan budaya serta masyarakat. Pemkab Jember, misalnya, bisa membuat kebijakan untuk mendorong tumbuhnya ekosistem kebudayaan, baik di desa maupun di kota.
Selain itu, Pemkab Jember bisa menyiapkan dana dari APBD untuk pemajuan kebudayaan berbasis potensi dan permasalahan. Memang, anggaran sudah disiapkan di APBD, tetapi maksimalisasi pemanfaatannya untuk kegiatan pemajuan budaya sangatlah minim alias tidak dirasakan oleh pelaku di tingkat bawah.
Menurut para seniman yang hadir, mereka tidak merasakan sama sekali kebijakan dan anggaran yang dibuat Pemkab Jember. Memang Pemkab Jember menyelenggarakan pertunjukan seni atau even budaya di Alun Alun, tetapi bersifat insidental sehingga tidak berdampak secara signifikan terhadap upaya pemajuan kebudayaan.
Yang lebih tragis, sampai sekarang Pemkab Jember belum mengirimkan Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) kepada Dirjen Kebudayaan. Sebagai dokumen yang berisi potensi dan permasalahan OPK, PPKD merupakan syarat mutlak ketika kelompok seni atau para penggiat budaya ingin mengakses dana fasilitasi dari Kemendikbud Ristek.
Ketiadaan PPKD menegaskan betapa buruknya manajemen dan kinerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jember serta, secara umum, kepemimpinan Bupati Hendy dan Wabub K.H Firjaun dalam tata kelola kebudayaan. Potensi Jember yang luar biasa dalam keragaman budaya etnis harus sia-sia karena ketidakjelasan kebijakan Pemkab Jember.
Meskipun Pemkab Jember tidak hadir di tengah-tengah perjuangan para pelaku seni dan budaya, mereka tidak pernah lelah untuk terus bergerak, melakukan kegiatan secara gotong-royong.
Salah satu wujudnya, para seniman dan pelaku budaya bersama Dewan Kesenian Jember didukung beberapa akademisi Universitas Jember dan Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jember berencana akan menggelar even kolaboratif yang menggabungkan ritual dan seni pertunjukan di petilasan bersejarah di Desa Sukoreno.
Meskipun masih dalam tahapan rencana, apresiasi perlu diberikan kepada para pelaku seni dan budaya. Mereka yang tidak mendapatkan perhatian dari Pemkab Jember tetap berkenan untuk terus memperjuangkan pemajuan kebudayaan sepenuh hati.
Dengan kata lain, meskipun Pemkab Jember memiliki sumberdaya keuangan dan manusia berlimpah, kita bisa mengatakan bahwa untuk kerja-kerja kebudayaan, mereka harus belajar dari para seniman dan pelaku budaya di tingkat bawah yang lebih siap dan trengginas.