Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk berpikir, sementara filsuf empiris dari Irlandia, George Berkeley, menggambarkannya sebagai makhluk berpengetahuan. Manusia memperoleh pengetahuan dari generasi sebelumnya melalui berbagai cara, seperti pola pengajaran, membaca, dan penelitian. Dengan cara ini, manusia menduplikasi pengetahuan lama untuk kemudian dikembangkan menjadi pengetahuan baru yang lebih relevan dengan kondisi zamannya.
Meskipun sifatnya duplikatif, proses ini tetap memberi ruang bagi manusia untuk menggunakan daya imajinasi dan nalar dalam membangun struktur pengetahuan dalam pikirannya. Dengan demikian, rumusan pengetahuan baru dapat menjadi lebih baik dan berkembang. Inilah yang disebut dengan epistemologi.
Epistemologi dibangun dari pengetahuan-pengetahuan dasar yang kemudian dikembangkan dan dikorelasikan dengan pengetahuan dasar lainnya untuk membentuk pengetahuan baru yang lebih kokoh, kuat, dan “lebih benar” dari sebelumnya, terutama jika pengetahuan lama perlu diperbarui atau sudah tidak relevan lagi.
Epistemologi adalah rumusan atau bangunan pengetahuan di dalam pikiran manusia hingga mencapai tahap keyakinan, atau dengan kata lain, diyakini kebenarannya. Karena pengetahuan harus dapat diuji kebenarannya, manusia melakukan berbagai metode untuk memverifikasinya. Riset pengetahuan bisa bersifat empiris, artinya kebenarannya dapat dibuktikan secara materi, atau bersifat rasional, yaitu dengan pembuktian yang tidak selalu berbentuk uji materi. Contohnya, kesimpulan bahwa matahari sangat panas dapat dicapai secara rasional tanpa harus mendekati atau menyentuhnya langsung.
Selain pengetahuan empiris dan rasional, manusia juga memiliki pengetahuan yang bersifat konstruktif. Artinya, pengetahuan ini mengalami transformasi sosial melalui interaksi dengan orang lain. Dengan demikian, pengalaman hidupnya yang subjektif memungkinkan manusia menarik kesimpulan baru yang tidak harus identik dengan pengalaman orang lain. Dalam konteks agama, jenis pengetahuan ini seringkali relevan.
Ketiga aspek di atas—empiris, rasional, dan konstruktif—bisa saling beririsan dan bahkan saling memperkuat, tergantung pada sejauh mana subjek pengetahuan mendalami dan mengungkap pengetahuan yang ia peroleh. Selain itu, manusia juga dapat memiliki pengetahuan personal lainnya, seperti pengetahuan berupa ide, intuisi, ilham, kasyaf, atau bahkan wahyu, yang dalam konteks agama dipercaya khusus untuk para nabi.