Kenaikan Biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) di perguruan tinggi menjadi isu yang semakin meresahkan bagi masyarakat menengah. Gelombang protes terus bermunculan dari mahasiswa hingga berbagai kelompok masyarakat. Sayangnya gelombang protes ini belum mendapatkan respon yang memuaskan, malah terjadi pelaporan polisi atas kasus pencemaran nama baik. Kasus di Universitas Riau adalah contoh nyata kritik yang disampaikan oleh mahasiswa malah berujung pelaporan ke Polisi oleh sang rektor. (https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-7332106/konten-kritik-biaya-kuliah-di-unri-mahal-berujung-dipolisikan-rektor/amp)
Ironi ini menjelaskan setidaknya 2 hal yakni, banyak pejabat di Indonesia yang masih anti kritik. Kedua, pendidikan di Indonesia masih dianggap sebagai bisnis bukan sebagai investasi. Dua penyakit klasik yang tidak kunjung bisa disembuhkan di negeri ini. Dalam masyarakat, kritik “orang miskin dilarang kuliah” semakin nyaring terdengar bahkan juga melebar ke masyarakat dari golongan menengah.
Dalam berbagai sumber, masyarakat kelas menengah dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat berpenghasilan sedang, diantara kelas bawah dan atas. Dalam kategori ini, jenis kelompok ini tidak bisa dikatakan sebagai miskin tapi juga tidak bisa dikatakan kaya.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kian meningkat menjadi beban tambahan bagi keluarga-keluarga dengan pendapatan menengah, yang seringkali tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan beasiswa namun juga tidak mampu menanggung biaya pendidikan yang terus meningkat. Fenomena ini menandai krisis aksesibilitas pendidikan tinggi di Indonesia, di mana impian untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas semakin jauh dari jangkauan masyarakat menengah.
Peningkatan biaya UKT dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kenaikan biaya operasional perguruan tinggi, inflasi, dan kebijakan internal perguruan tinggi dalam menetapkan tarif. Seiring dengan meningkatnya biaya operasional, perguruan tinggi sering kali mengalihkan beban biaya tersebut kepada mahasiswa melalui kenaikan UKT. Utamanya kampus yang sudah berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) akan banyak ditemui fenomena demikian. Hal ini menjadi ironi tersendiri, dimana semakin tingginya biaya pendidikan menjadi hambatan bagi masyarakat menengah untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Meskipun terdapat program beasiswa dari pemerintah maupun dari lembaga-lembaga swasta, masyarakat menengah sering kali terjebak dalam situasi pendapatan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi syarat mendapatkan beasiswa, namun juga tidak cukup untuk membayar biaya pendidikan yang mahal. Hal ini menjadi dilema yang mengakibatkan banyak mahasiswa menengah terpaksa mengambil jalan pintas, seperti meminjam uang dengan bunga tinggi atau bahkan putus sekolah karena tidak mampu membayar.
Kondisi ini juga menimbulkan dampak sosial yang luas. Masyarakat menengah yang terpinggirkan dari akses pendidikan tinggi memiliki peluang kerja yang terbatas, karena banyaknya perusahaan yang menetapkan syarat pendidikan tinggi sebagai prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Mereka yang tidak memiliki akses pendidikan tinggi akan semakin tertinggal dalam persaingan global yang semakin ketat.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya langkah-langkah konkret dari pemerintah dan perguruan tinggi. Pertama-tama, pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi, sehingga perguruan tinggi dapat memperoleh pendanaan yang cukup tanpa harus mengandalkan kenaikan biaya UKT. Selain itu, perlu ditingkatkan juga transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan tinggi, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa biaya pendidikan yang mereka bayarkan digunakan secara efisien untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Perguruan tinggi juga perlu mengkaji ulang kebijakan tarif UKT mereka, dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dan keluarganya. Banyak kisah tentang penetapan besaran UKT tidak sesuai dengan kemampuan mahasiswanya, pengajuan penurunan biaya UKT yang tidak ditanggapi akhirnya mahasiswa tersebut harus putus kuliah.
Program beasiswa juga perlu diperluas cakupannya dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat menengah yang terpinggirkan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membuka pintu akses pendidikan tinggi yang lebih luas bagi masyarakat menengah, sehingga mereka dapat meraih mimpi mereka tanpa harus terhambat oleh beban biaya pendidikan yang terus meningkat.