Seorang kolega dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur mengirim WA kepada saya sekira bulan Februari. Isinya, terobosan wisata aviasi yang digagas Bupati Jember Hendy Siswanto patut diapresiasi, Disbudpar Jatim sangat mendukung.
Dengan santai saya pun menjawab, lebih baik biasa-biasa saja dalam menanggapi gagasan ataupun program Bupati Hendy terkait pariwisata dan budaya. Karena sudah beberapa kali ia membanggakan program yang tampak hebat tetapi hanya ramai di media, tapi implementasinya jauh api dari panggang.
Terkait wisata aviasi, puluhan media online memberitakan rencana yang dilontarkan Bupati Hendy tersebut. Bagi Bupati, pemberitaan itu tentu cukup membantu dalam menyebarluaskan gagasan wisata aviasi sehingga publik akan memandangnya sebagai pemimpin visioner, kreatif, dan kaya akan terobosan dalam pembangunan.
Masalahnya, di dunia pariwisata internasional, istilah wisata aviasi ini tidak populer atau bahkan sulit dicari rujukannya. Sejauh pelacakan yang saya lakukan di Google dan situs penyedia jurnal dan buku berbahasa Inggris, saya belum menemukan rujukan terkait wisata aviasi (aviation tourism).
Yang tersedia adalah hubungan usaha industri aviasi (penerbangan) dengan industri pariwisata. Bukan bentuk wisata aviasi dengan naik pesawat untuk melihat pemandangan.
Secara gagasan wisata aviasi memang tampak keren. Namun, kalau tidak dibarengi desain yang jelas apa-apa yang diberitakan secara bombastis oleh banyak media hanya akan menjadi “tong kosong nyaring bunyinya.” Rujukan internasional atau nasional setidaknya akan membantu perencanaannya agar bisa dioperasionalkan secara maksimal.
Memang, dalam banyak pemberitaan media online dikatakan bahwa Pemkab Jember bekerjasama dengan Pemkab Bondowoso dengan dukungan Disbudpar Jawa Timur, PTPN, dan Perhutani pada bulan Februari sedang mematangkan konsep wisata aviasi.
Bahkan, Bupati Hendy dengan bangga menjelaskan bahwa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) siap mendukung rencana tersebut. Hal itu dibuktikan dengan kunjungan Rektor UMM ke Jember dan kunjungan Bupati Hendy ke UMM.
Kunjungan tersebut bisa dibaca sebagai upaya untuk menegaskan kepada warga Jember dan pihak-pihak yang sering mengkritisi kepemimpinan Hendy, bahwa ia serius untuk menggodok dan mewujudkan wisata aviasi tersebut.
Dukungan dari Disbudpar Jawa Timur dan Pemkab Bondowoso serta PTPN dan Perhutani melengkapi keyakinan Bupati Hendy untuk segera mewujudkannya.
Saya pun menjelaskan kepada kolega tersebut bahwa konsep wisata aviasi itu sepertinya sulit berhasil dengan gemilang, untuk tidak mengatakannya gagal. Karena wisatawan kelas menengah ke atas yang menjadi targetnya belum tentu tertarik naik pesawat cessna mengitari Gunung Piramid, Kawah Wurung dan Pantai Bande Alit.
Trend wisata eksklusif saat ini tetaplah mendatangi tempat-tempat eksotis dengan penginapan yang menghadirkan privasi tingkat tinggi. Mengapa harus berputar-putar di atas udara kalau tidak bisa menikmati secara langsung keindahan tersebut on the spot?
Memang benar ada sensasi, tetapi pemandangan panoramik semata tanpa bisa mendatangi secara langsung lokasi wisata, tentu tetap kurang berkesan. Itulah mengapa para pendaki tetap mendaki gunung meskipun mereka bisa menikmati keindahannya melalui video drone.
Masalah wisata aviasi menemui kendala ketika pesawat cessna yang rencananya akan digunakan untuk aktivitas tersebut ‘menghilang’ dari Bandara Notohadinegoro alias berhenti kontraknya dan tidak diperpanjang lagi. Lengkap sudah.
Desain wisata aviasi belum matang, pesawat cessna menghilang. Maka, tidak heran sampai saat ini tidak lagi terdengar “suara kuereeen” Bupati Hendy terkait wisata aviasi.
Sejatinya, kalau Bupati Jember benar-benar siap dengan desain yang jelas, ketika operator cessna tersebut habis masa kontraknya atau bermasalah, ia bisa menggandeng operator lainnya demi mewujudkan wisata aviasi.
Tentu itu bisa dilaksanakan kalau Pemkab punya anggaran yang jelas dan direncanakan dalam APBD. Menjadi masalah kalau sewa pesawat tersebut tidak ada dalam APBD.
Kalau wisata aviasi benar-benar gagal dilaksanakan, maka sangatlah wajar kalau banyak warga Jember yang beranggapan Bupati Hendy hanya ingin sensasi pemberitaan, meskipun gagasannya hanya akan menjadi utopia selamanya.
Menjadi pertanyaan besar, mengapa desain wisata aviasi tidak disiapkan secara matang oleh Bupati Hendy dan timnya? Atau, jangan-jangan ia memang tidak siap dengan desain yang jelas? Tentu saja, saya tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bupati Hendy dan timlah yang punya jawaban.
Banyak warga Jember yang mulai berkasak-kusuk dan bertanya-tanya, jangan-jangan ia memang lebih suka dengan berita-berita heboh demi menaikkam citra di mata publik ketika terbukti belum mampu menghadirkan kekerenan untuk Jember sebagaimana ia gembar-gemborkan selama ini?
Saya masih ingat bagaimana ia begitu membanggakan Jember Kreatif Laboratorium (JKLAB), sebagai “Gedung Pertunjukan” yang sejatinya jauh dari konsep gedung pertunjukan.
Dalam peresmiannya, seperti biasanya, ia dan banyak pendukungnya berkoar bahwa gedung tersebut akan mewadahi kreativitas seniman Jember. Realitasnya, gedung tersebut saat ini “mangkrak” alias “suwung.”
Belum lama ini ia juga mencanangkan Hari Budaya di Jember, tetapi sampai saat ini juga tidak ada kejelasannya. Dalam banyak kesempatan ia juga bicara ekonomi kreatif, tetapi bagaimana konsep dan implementasinya untuk warga Jember juga sangat absurd.
Sampai saat ini warga juga masih menunggu program sistematis dan konkrit di Kampung Kreatif RTH Arjasa. Pembukaan dengan selebrasi megah, nyatanya, belum berdampak terhadap munculnya kreativitas yang ajeg di tempat tersebut.
Ada baiknya, sebelum melempar program ke publik Bupati Hendy benar-benar serius mempersiapkan konsep yang akan dilaksanakan. Bukankah Pemkab Jember punya tim ahli yang dipilih dari para akademisi?
Ini perlu dilakukan karena ia adalah pemimpin Jember yang menjanjikan banyak perubahan dengan slogan “Wes Wayahe Mbenahi Jember.”
Kalau berulang-kali program yang ia lontarkan gagal dalam implementasinya, kasihan warga Jember yang mengalami surplus “Jember Kuereeen” tanpa kenyataan.
Tentu, kita bisa saja berasumsi masih banyak warga Jember yang menunggu realisasi wisata aviasi dengan beragam alasan mereka, seperti terdongkraknya aspek ekonomi warga.
Namun, bisa jadi, di antara warga itu ada yang masih setia menunggu realisasi wisata aviasi hanya karena tidak ingin mendengar munculnya ungkapan “pacapah meloloh” alias “omong doang” berkumandang di tengah-tengah masyarakat Jember. Mungkin, baginya, warga Jember mesti sering-sering diberikan kejutan.
Akan tetapi ia mungkin lupa bahwa tidak semua warga Jember hanya manthuk-manthuk mendengar ucapan pemimpin mereka yang suka melempar program sensasional di media tetapi minim realisasi.
Banyak dari mereka yang juga niteni (mengingat dan memperhatikan secara seksama) bagaimana tindak-tanduk (tingkah laku) pemimpin Jember saat ini.
Jadi, mari kita tunggu dan mari menjadi penyaksi yang kritis, apakah wisata aviasi akan terealisasi atau sekedar sensasi. Jangan lupa, kita simpan jejak-jejak digital terkait pemberitaan wisata aviasi. Siapa tahu suatu saat dibutuhkan.