Warangka Keris, Kita dan Samudra

  • Whatsapp

Jika kita mengamati berbagai bentuk warangka keris di berbagai daerah di Nusantara ini, kita akan menemukan kesamaan umum di sana. Yaitu, bentuk warangka yang menyerupai perahu. Ada apa di balik bentuk perahu pada warangka keris?

Budaya keris tersebar luas di seluruh daerah yang merupakan bagian dari Nusantara. Di Indonesia, sepertinya hanya Papua yang tidak memiliki budaya keris. Daerah lain seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi memiliki budaya keris. Pun keris ada di Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Filipina.

Di setiap daerah, terdapat warangka keris yang berbeda jenis dan bentuknya. Jika dikumpulkan jumlahnya bisa ratusan. Uniknya, jika kita cermati, ratusan jenis warangka keris di berbagai daerah itu memiliki satu kesamaan: mirip miniatur perahu.

Mari tengok ke Pulau Jawa. Di Jawa, di setiap daerah yang pernah menjadi pusat peradaban daerah pasti memiliki budaya keris. Mulai dari telatah Pasundan (Sunda-Galuh), Bogor (dulu Pajajaran), Banten, Sumedang, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Madiun (Purabaya), Malang (Singosari), Kediri, Mojokerto (Majapahit), Tuban, Banyuwangi (Blambangan), hingga Madura.

Masing-masing daerah memiliki warangka keris yang khas. Semisal di Solo, secara umum jenis warangka keris di Solo terbagi menjadi dua yaitu warangka Ladrang yang biasanya dipakai untuk acara formal serta warangka Gayaman yang bentuknya lebih sederhana dan biasanya dipakai untuk acara informal, berpergian, maupun perang.

Warangka Ladrang terbagi lagi menjadi beberapa jenis seperti Ladrang Capu, Ladrang Kagok Capu, Ladrang Kadipaten, Ladrang Kasatrian, Ladrang Nyagak Talang, Ladrang Kancir Kuwung, Ladrang Kancir Bener, Ladrang Kancir Sepet, dan Ladrang Kancir Nyancut. Begitu pula Gayaman di Solo terbagi menjadi beberapa jenis. Seperti Gayaman Gabel, Gayaman Kagok Gabel, Gayaman Gandhon, Gayaman Bener Baku, Gayaman Bancih, Gayaman Kagok Bancih, dan Gayaman Bancih Wayang.

Di Yogyakarta juga ada puluhan jenis warangka keris. Pun di daerah lainnya. Uniknya, ratusan jenis warangka keris tersebut memiliki dasar bentuk yang sama yaitu perahu.

Bahkan jenis warangka era Majapahit ke belakang yang masih ada hingga saat ini yaitu warangka Sandang Walikat juga memiliki bentuk mirip perahu. Konon, nama warangka Sandang Walikat ini berasal dari kata tulang belikat, tulang di pinggang samping. Karena cara membawanya dengan diselipkan di pinggang samping dekat tulang belikat supaya mudah dibawa.

Di sebagian masyarakat Jawa, warangka dianggap sebagai simbol dari baita atau perahu. Sedangkan deder atau danganan/pegangan keris adalah simbol dari jalma atau manusia. Karena itu dalam masyarakat Jawa ada istilah “baita tinitihan jalma” atau bahtera yang dinaiki manusia untuk menggambarkan perpaduan yang tidak terpisahkan antara manusia dengan perahu. Masyarakat Jawa menyebut deder dan warangka sebagai sandangan keris. Keduanya tidak boleh terpisahkan untuk bisa disebut utuh.

Pun, sebilah keris akan dianggap sempurna jika dia sudah memiliki sandangan alias memiliki danganan dan warangka. Dalam konsep “baita tinitihan jalma” sandangan keris tidak hanya sebagai aksesoris, lebih dari itu mereka memiliki makna filosofi sebagai pengendali diri sekaligus pelindung. Seolah menyampaikan pesan bahwa manusia pemilik pusaka harus bisa mengendalikan diri dan pusakanya untuk bisa mengarungi samudra kehidupan. Sebab, tanpa baita, orang akan tenggelam dan ditelan samudra hawa nafsunya sendiri.

Konsep yang sama tampaknya juga ada pada sandangan keris luar Jawa. Kita tengok warangka keris Palembang yang bentuknya mirip perahu bidar. Begitu pula warangka keris Bugis yang juga mirip perahu Bugis. Masyarakat Bugis menganggap bentuk perahu pada warangka keris adalah simbol dari ketenangan sekaligus semangat pantang menyerah para pelaut saat menghadapi hantaman gelombang di tengah lautan. Memang tanpa ketenangan dan semangat pantang menyerah, mustahil kita bisa mengarungi samudra.

Lantas kenapa bentuk perahu yang dipilih? Ini tampaknya dipengaruhi budaya maritim leluhur kita yang sejatinya sangat akrab dengan lautan. Jauh sebelum Indonesia ditetapkan sebagai negara maritim dunia pada 1982, leluhur kita sudah lama terkenal sebagai para pelaut yang handal. Orang Madura bilang sudah biasa “abental ombek asapok angin salanjenggah” atau sudah terbiasa biasa berbantal ombak berselimut angin selamanya.

Sejak abad ke-5, pelaut-pelaut kita sudah menaklukkan Samudra Hindia dan menjejakkan kaki di Afrika. Di masa itu, kapal-kapal dagang dari kerajaan-kerajaan di Nusantara mendominasi pelayaran dagang di Asia. Saat itu, Columbus yang dianggap sebagai pelaut tersohor dalam sejarah kelautan dunia belum pernah sampai ke sana.

Bahkan jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa berani berlayar ke timur dan menemukan Nusantara, kapal-kapal dagang kita sudah berlayar jauh ke barat membawa berbagai rempah. Keserakahan akan rempah itu yang kemudian menjadi alasan kerajaan-kerajaan Eropa berbondong-bondong berlayar ke timur untuk menjajah Nusantara.

Warangka adalah artefak, bukti nyata kejayaan Nusantara. Bahwa sejatinya kita adalah bangsa besar, bangsa pemberani penakluk samudra. Lantas kenapa kita harus minder dengan bangsa lain, bahkan menganggap budaya kita lebih rendah dari mereka. Lebih menyedihkan, masih ada yang menganggap berkeris adalah barbar, tidak berbudaya, bahkan musyrik. Jelas itu adalah pola pikir bengkok.

Dinukil dari obrolan grup Sinau Tosan Aji Indonesia

Pos terkait