Legenda Panji Laras – Liris, Kisah Awal Tradisi Lamaran di Lamongan

  • Whatsapp
Salah satu Genuk/Gentong yang dibawa ketika Dewi Andansari - Andanwangi melamar Panji Laras - Liris yang terpajang di Halaman Masjid Agung Lamongan. (Sumber Foto : Istimewa)

Bupati Lamongan yang ketiga, yaitu Raden Panji Puspokusumo adalah putera Cakraningrat dari Madura yang masih keturunan ke 12 dari Prabu Hayam Wuruk raja Raden Tumenggung Pusponegoro Bupati Gresik. Bupati Gresik tersebut adalah putera Pangeran Majapahit. Raden Panji Puspokusumo sendiri merupakan keturunan ke 14 dari Prabu Hayam Wuruk. Raden Panji Puspokusumo ini diambil menantu oleh Sunan Pakubuwono 11 raja Surakarta Adiningrat. Karena letak Lamongan berada di timur laut atau utara (Jawa = /wr) Kartosuro, maka Raden Panji Puspokusumo juga dikenal dengan sebutan Dewa Kaloran (dewa yang berada di sebelah utara). Raden Panji Puspokusumo memerintah di Lamongan tahun 1640 sampai 1665. Pernikahan Raden Panji Puspokusumo dengan puteri Sunan Pakubuwono II menghasilkan dua orang putera kembar yang sama-sama tampan, diberi nama Raden Panji Laras, dan Raden Panji Liris.

Selain tampan, Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris juga dikenal masyarakat mempunyai sifat yang sangat baik. Maka dari itu banyak gadis-gadis yang jatuh cinta dan berusaha memikat hati kedua putera Bupati Lamongan tersebut. Meskipun tingkah lakunya baik, tetapi keduanya mempunyai kegemaran yang jelek, yaitu berjudi dengan menggunakan menyabung ayam. Meskipun ibunya sudah sering melarang kebiasaannya yang kurang terpuji ini, tetapi keduanya tetap tidak dapat meninggalkan kegemarannya menyabung ayam. Bahkan untuk menghindari kemarahan ibunya, keduanya bila menyabung ayam tidak lagi di wilayah Kabupaten Lamongan, tetapi dilakukan di luar wilayah Kabupaten Lamongan terutama di Kabupaten Wirosobo dekat Kediri (sekarang daerah Kertosono).

Bupati Wirosobo mempunyai dua orang puteri kembar yang menginjak usia remaja dan keduanya sangat cantik, diberi nama Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Sebagai anak gadis, pada waktu itu kedua puteri Bupati Wirosobo ini juga dipingit, sehingga tidak pernah tahu keadaan di luar rumah kabupaten Untuk dapat mengetahui keadaan di luar rumah keduanya hanya dapat mengintip melalui celah jendela kamarnya.

Pada suatu hari, Andansari dan Andanwangi dikejutkan oleh suara beberapa orang yang bersorak-sorai di halaman rumah kabupaten. Karena rasa ingin tahunya, keduanya mengintip keluar melalui celah jendela kamarnya. Ternyata yang tampak orang yang sedang menyabung ayam. Diantara kerumunan orang yang menyabung ayam tersebut tampak dua orang pemuda yang sangat tampan, yaitu Raden Panji laras dan Raden Panji Liris. Melihat ketampanan kedua jejaka kembar tersebut Andansari dan Andanwangi sangat terterik dan bahkan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Pada malam harinya kedua gadis kembar ini tidak dapat tidur karena selalu terbayang wajah dan ketampanan Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Begitu pula malam-malam berikutnya, wajah jejaka pujaan hatinya sulit dilupakan. Mau menemui kedua jejaka tersebut jelas tidak mungkin, karena kedua puteri Bupati Wirosobo ini sedang dalam pingitan.

Keadaan ini mengakibatkan kedua gadis kembar ini menjadi sakit. Meskipun kedua orangtuanya telah berusaha mendatangkan dukun dan tabib untuk mengobati penyakit kedua puterinya, tetapi penyakit Andansari dan Andanwangi tidak kunjung sembuh. Akhirnya ibunya dengan penuh bijaksana mencoba bertanya kepada kedua puteri kembarnya, apa yang menjadi penyebab keduanya sakit.

Berkat kesabaran dan ketekunan ibunya, maka Andansari dan Andanwangi mengutarakan isi hatinya bahwa sebenarnya keduanya menderita sakit cinta. Keduanya merasa jatuh cinta keda kedua jejaka tampan yang sering menyabung ayam di halaman rumah kabupaten Wirosobo yaitu Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris.

Mendengar pernyataan kedua puterinya tersebut, Nyai Bupati Wirosobo sangat terkejut, dan memberitahu kedua puterinya agar keinginannya diurungkan saja, karena menurut adat yang berlaku, sebagai perempuan hanya dapat menerima kedatangan laki-laki yang meminangnya. Namun Andansari dan Andanwangi tidak dapat mengikuti nasihat ibunya, dan mengatakan lebih baik mati daripada tidak kesampaian menjadi isteri putera kembar Bupati Lamongan tersebut. Akhirnya masalah ini oleh Nyai Bupati disampaikan kepada Bupati Wirosobo. Setelah melalui perundingan keluarga, demi rasa sayangnya kepada kedua puterinya, Bupati Wirosobo mengirim utusan ke Lamongan untuk menyampaikan surat lamaran.

Setelah membaca surat lamaran dari Bupati Wirosobo, Raden Panji Puspakusumo memanggil kedua puteranya, menanyakan apakah mereka sudah kenal dengan Andansari dan Andanwangi puteri kembar Bupati Wirosobo. Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menyatakan bahwa meskipun keduanya sering menyabung ayam di halaman rumah Bupati Wirosobo, tetapi belum pernah bertemu dengan Andansari dan Andanwangi, karena keduanya dipingit. Selain itu Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menyatakan bahwa keduanya masih senang membujang, belum ingin menikah.

Untuk menjaga hubungan baik antara Kabupaten Lamongan dengan Kabupaten Wirosobo, Raden Panji Puspokusumo menyarankan agar kedua puteranya jangan menolak secara terang-terangan lamaran kedua puteri kembar Bupati Wirosobo. Sebaiknya ditolak secara halus dengan cara mengajukan persyaratan yang sulit diwujudkan.

Setelah berpikir sejenak, Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris mengajukan persyaratan agar kedua puteri kembar Bupati Wirosobo ini datang ke Lamongan sambil masing-masing membawa sebuah genuk/gentong yang dibuat dari batu berisi air penuh, dan membawa kipas dari batu yang akan dijadikan prasasti tentang pernikahan jejaka kembar putera Bupati Lamongan dengan gadis kembar puteri Bupati Wirosobo, dan ditaruh di alun-alun Kabupaten Lamongan (sekarang berada di Halaman Masjid Agung Lamongan). Selanjutnya persyaratan ini disampaikan kepada utusan dari Wirosobo agar disampaikan kepada Bupati Wirosobo.

Setelah mendapat pemberitahuan dari utusannya, tentang hasil lamarannya, maka Bupati Wirosobo memenuhi persyaratan tersebut dan mengirim utusan kembali ke Kabupaten Lamongan agar kedua putera Bupati Lamongan menjemput kedatangan Andansari dan Andanwangi di seberang sungai Lamong yang merupakan perbatasan bagian selatan wilayah Kabupaten Lamongan. Sesuai dengan janjinya kepada utusan dari Kabupaten Wirosobo, maka Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menjemput kedatangan Andansari dan Andanwangi di tepi sungai Lamong, yang sekarang merupakan wilayah Desa Babatan Kecamatan Mantup.

Setelah waktu yang disepakati tiba, Andansari dan Andanwangi yang telah dibekali kesaktian oleh ayahnya, berangkat ke Lamongan sambil masing-masing membawa sebuah genuk dari batu berisi air penuh, dan sebuah kipas dari batu, dengan disertai beberapa orang pengawal, Sesampainya mereka di sebelah selatan sungai Lamong, tampak di seberang sungai, yaitu di sebelah utara sungai, rombongan Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris yang telah menunggu kedatangan rombongan dari Wirosobo. Pada waktu itu sungai Lamong tersebut belum ada jembatannya.

Setelah ditunggu-tunggu, ternyata Raden Panji Laras dan Raden panji Liris tidak juga menyeberang menjemput kedatangan Andansari dan Andanwangi. Kedua jejaka ini masih tetap berada di atas kuda tunggangannya. Karena didorongkan rasa rindunya segera ingin bertemu dengan jejaka pujaan hatinya, dan merasa kedua puteri ini yang ingin mendapatkan suami putera Bupati Lamongan tersebut, maka Andansari dan Andanwangi mengalah, dan segera memulai menyeberangi sungai Lamong. Karena air sungai makin ke tengah makin dalam, dan agar kain yang dipakai tidak basah, maka Andansari dan Andanwangi terpaksa harus mensingsingkan kainnya, sehingga kedua betis gadis-gadis ini kelihatan.

Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris yang sejak tadi memperhatikan dari seberang sungai sangat terkejut setelah melihat bahwa betis kedua puteri cantik itu penuh ditumbuhi rambut layaknya betis laki-laki. Di dalam hatinya Raden panji Laras dan Raden Panji Liris tidak dapat menerima Andansari dan Andanwangi yang meskipun cantik tetapi betisnya penuh ditumbuhi rambut. Dengan segera Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris memutar kudanya dan melarikan dengan kencang menuju Kabupaten Lamongan. Andansari dan Andanwangi tidak merasa bahwa Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris menyakiti dirinya, dan mengira bahwa kedua jejaka itu masih merasa malu- malu atas kedatangan kedua puteri itu. Kedua puteri itu berinisiatif menyusul ke pendapa Kabupaten Lamongan.

Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris sesampainya di rumah segera melapor kepada ayah-ibunya apa yang dilihat ketika menjemput Andansari dan Andanwangi, dan keduanya menyatakan tetap tidak mau menerima kedua puteri tersebut. Bupati Lamongan menyadari bahwa hal ini akan berakibat peperangan antara Lamongan dengan Wirosobo dan pertumpahan darah tentu terjadi. Apalagi Andansari dan Andanwangi merasa sangat tersinggung karena harga dirinya dilecehkan, telah mengancam akan melaporkan kepada ayahnya karena kedatangannya di pendapa Kabupaten Lamongan tidak mendapatkan sambutan sebagai layaknya tamu terhormat.

Bupati Wirosobo setelah mendapat laporan kedua puterinya tentang penolakan Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris, segera mengerahkan pasukan untuk menggempur Lamongan. Bupati Wirosobo juga minta bantuan pasukan dari Kabupaten Kediri dan Kabupaten Japanan. Pasukan Kabupaten Lamongan juga menyiapkan diri dengan dipimpin panglima perangnya yang bernama Ki Sabilan. Setelah pasukan Kabupaten Wirasaba bersama sekutunya sampai di Lamongan, segera terjadi pertempuran yang sengit. Dalam pertempuran tersebut Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris gurur. Demikian juga Andansari dan Andanwangi mati terbunuh. Panglima perang Lamongan Ki Sabilan juga gugur dalam pertempuran itu. Akhirnya Bupati lamongan Raden Panji Puspokusumo saling berhadapan dengan Bupawi Wirosobo, dan berakhir dengan kematian Bupati Wirosobo yang ditusuk dengan keris pusaka Kyai Jimat oleh Raden Panji Puspokusumo. Prajurit Wirosobo dengan sekutunya dari Kediri dan Japanan dengan bercerai-berai kembali ke daerah masing- masing.

Kedua buah genuk batu, dan dua buah batu berbentuk kipas tersebut, sampai sekarang masih disimpan di halaman Masjid Agung Kabupaten Lamongan. Sedangkan nama Panji Laras-Liris serta Andansari dan Andanwangi ini diabadikan menjadi nama jalan yang lokasinya berada di halaman Masjid Agung Kabupaten Lamongan.

Cerita tentang Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi puteri Adipati Wirosobo yang melamar Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris putera Raden Panji Puspokusumo Bupati ketiga Lamongan ini, dianggap sebagai cerita yang mempengaruhi adanya tradisi wanita melamar pria, dan juga sebagai legitiminasi atau pengesahan adanya tradisi wanita melamar pria di Lamongan. Jalan ini ditempuh para leluhur Lamongan agar masyarakat menganggap sah tradisi wanita melamar pria, karena sesuai dengan adat kebiasaan bangsawan. Dan masyarakat menganggap bahwa bila dapat meniru gaya hidup bangsawan kerajaan akan disegani anggota masyarakat lainnya, yang berarti akan menaikan harga dirinya.

Pos terkait