Blater, Carok, dan Kharisma Kuasa

  • Whatsapp

Berselang dua hari usai carok berdarah Jumat malam 12 Januari, tetiba FYP akun TikTok saya muncul video buram orang-orang berkelahi sambil berteriak, terdengar suara benturan celurit senjata tajam beradu, dan samar pekikan takbir. Video berdurasi 16 detik itu mengerikan, membikin bulu kuduk berdiri.

Telah terjadi carok maut di Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Akibatnya, empat orang tewas peristiwa berdarah itu yakni Mat Tanjar, Mat Terdam, Najehri, dan Hafid. Mereka warga Desa Larangan Timur. Sedangkan dua pelaku Hasan Busri dan Mawardi diketahui warga Desa Bumi Anyar.

Mengutip buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002), oleh A. Latief Wiyata, carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, ecacca erok-orok yang berarti dibantai atau mutilasi. Secara definitif, carok adalah sebuah tradisi menyabung nyawa dalam menyelesaikan suatu konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat suku Madura.

Masyarakat Madura memegang teguh peribahasa “katembheng pote mata ango’a poteya tolang” yang memiliki arti “daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah”. Peribahasa ini melekat pada tiap insan masyarakat Madura yang menandakan upaya mempertahankan harga diri dari tiap individu masyarakat Madura sangat tinggi.

Untuk memahami suku Madura terasa kurang lengkap jika tidak menyelami dua kekuatan sosial paling berpengaruh dalam dinamika sosial masyarakat Madura, yakni kiai dan blater. Kedua ikon sosial ini kekuatan rezim kembar, relasi kuasanya mengakar kuat secara kultural di masyarakat Madura.

Blater dalam bahasa Madura berarti “jagoan” atau “pendekar”. Kata ini biasa digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berani dan kuat, dan sering terlibat dalam pertarungan.

“Blater” juga bisa berarti “pembangkang” atau “pemberontak”. Kata ini acap digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menentang penindasan atau ketidakadilan. Jika di Madura populer istilah blater, di Banten disebut jawara, sedangkan di Jawa dinamakan bandit atau kecu.

Abdur Rozaki dalam buku Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura (2004) menjelaskan, istilah blater terutama populer di Madura wilayah barat, yakni Bangkalan dan Sampang. Oreng blater adalah orang yang memiliki kepandaian dalam hal kanuragan, terkadang disertai dengan ilmu kekebalan dan kemampuan magis yang menambah daya kharismatis lainnya. Ia juga memiliki kemampuan dalam ilmu agama, tetapi sebatas untuk pengembangan dirinya semata. Yang menonjol justru peran “sosialnya” sebagai sosok orang kuat di desa.

Usai peristiwa Jumat malam berdarah di Desa Bumi Anyar itu, laporan media massa menyebutkan, sosok Mat Tanjar, satu dari empat korban carok massal adalah guru silat pemilik ilmu kebal yang disegani warga. Namun Mat Tanjar tewas di tangan Hasan Busri. Sementara, tiga korban lain, Mat Terdam, Najehri, serta Hafid bukanlah warga biasa, tapi dari kalangan blater atau pendekar. Mat Tanjar dan Mat Terdam kakak beradik, dan Najehri adalah pamannya. (bangkapos.com, Rabu, 17 Januari 2024).

Apresiasi masyarakat Madura terhadap sosok blater seringkali memunculkan sikap mendua. Di satu sisi, blater dicitrakan sebagai sosok yang memberikan perlindungan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat. Blater dipersepsikan memiliki perangai yang halus, sopan, dan menghargai orang lain. Sekalipun ia memiliki kepandaian ilmu kanuragan serta jiwa pemberani, namun tidak dipamerkan secara sombong, sehingga membuat masyarakat menghormatinya. Sebaliknya, jika terdapat oreng blater tidak menjalankan peran “kebaikan” sosial dijuluki dengan sebutan bajingan yang kedudukannya lebih rendah ketimbang blater.

Namun kenyataan menunjukkan ketika sebutan blater dan bajingan ini merujuk pada sosok konkret atau individu tertentu, seringkali tidak berbeda. Dapat dikatakan, blater yang memiliki jiwa sosial sebagai pelindung masyarakat, hanya konsepsi ideal yang sulit ditemukan dalam kenyataan. Untuk kasus dan konteks tertentu dapat menjadi pahlawan, tetapi dalam kasus yang lain justru berperan sebagai penindas masyarakat.

Sosok blater memiliki jaringan yang luas antardesa hingga antarkabupaten. Kharisma dan jaringan sosial luas membuat pengaruh blater melampaui lingkungan desa dimana ia tinggal.

Remoh Blateran

Tradisi remoh adalah media sosial antar blater untuk membangun pertemanan, saling berbagi, dan memberikan sejumlah uang pada penyelenggara remoh, mirip arisan yang dilakukan bergiliran. Dalam remoh blater, sering ada hiburan musik Madura seperti, sandur serta hidangan berupa minum-minuman keras. Selain itu juga ada momen karapan sapi, arena pencak silat, sabung ayam, dan sejenis perjudian lainnya.

Sementara, tradisi remoh yang digelar dalam hajatan kalangan warga masyarakat biasa hanya bernuansa kultural dan saling tukar transaksi ekonomi semata. Jarang sekali ada hiburan musik sandur, tandek, minum-minuman leras, dan perjudian.

Dalam remoh blater terdapat proses penguatan status. Semakin banyak para blater lain yang datang pada acara remoh, maka status penggelar remoh semakin naik kapasitas sebagai seorang blater. Orang yang menghadiri remoh blater biasanya memberikan uang dalam nominal sangat tinggi dibandingkan remoh warga biasa. Jika ada remoh lanjutan yang digelar blater lain, sebagai kunjungan balasan, blater yang sebelumnya telah menggelar remoh sekaligus menerima uang, wajib memberikan nominal uang lebih besar daripada uang yang telah diterima.

Tradiai remoh penting bagi kalangan blater, karena memiliki fungsi ganda, sebagai bentuk transaksi ekonomi dan legitimasi sebagai sosok blater yang memiliki banyak teman. Remoh telah menjadi social network antar sesama blater. Karena itu, tak satupun di Madura yang mengaku atau telah diakui sebagai sosok blater yang tidak pernah menyelenggarakan remoh.

Media sosialisasi remoh blater membentuk subkultur sendiri dalam masyarakat Madura. Begitu pula kiai, dengan kapasitas dan kemampuan menafsirkan wacana agama bisa menghegemoni struktur terdalam di ruang batin, pikiran, dan perilaku masyarakat. Media-media keagamaan yang bertebaran di Madura dengan sendirinya membuat kiai semakin signifikan dalam dinamika masyarakat Madura.

Kiai dan blater dalam praktik sosial, terkadang saling berseberangan paham dan visi. Namun untuk konteks tertentu tak jarang pula saling menjalin relasi kultural, ekonomi, dan politik kuasa.

Bias Perluasan Tindakan Carok

Sukses meraih kemenangan dalam carok, serta berhasil mencegah konflik dan kekerasan antar individu dalam masyarakat, menurut Rozaki, adalah salah satu faktor untuk meraih predikat sebagai blater. Faktor lain sebagai proses kultural seseorang disebut blater karena keterlibatannya dalam kriminalitas dan aksi kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung.

Pengaruh yang kuat di dalam kriminalitas, dengan memiliki banyak anak buah, membuat seorang blater tak hanya disegani masyarakat, tetapi oleh aparat negara pula.

Peristiwa carok jika dilihat lebih mendalam, bagaimana masyarakat memberikan apresiasi terhadap para pemenangnya, secara tidak langsung juga sebagai arena kultural yang ikut membentuk konstruksi sosial terhadap sosok jagoanisme atas keblateran seseorang. Semakin seseorang mengalami kemenangan dalam peristiwa carok, maka semakin berkharisma dirinya sebagai seorang jago. Pandangan ini merupakan bias perluasan dari tindakan carok yang semula hanya memiliki konteks tertentu sebagai penyebab carok, seperti pelecehan harga diri dan gangguan terhadap istri.

Berani carok telah menjadi ajang pembuktian apakah seseorang itu memiliki jiwa keblateran. Keberanian, sikap angkuh dan sejenisnya tidak memiliki dampak sosial secara kuat, jika belum dibuktikan, bahwa seseorang itu pernah mengalami carok.

Bila dalam peristiwa carok tersebut, pihak yang menang terlihat oleh warga memiliki kepandaian  terampil pencak silat, bahkan ilmu kebal atau kemampuan magis, maka dengan serta merta warga masyarakat akan memberikan pengakuan dan penghormatan yang tinggi. Bahkan ada pula warga masyarakat suka rela menjadi bagian anak buah seorang blater.

Kebiasaan carok tetap berakibat negatif. Berpotensi menimbulkan korban jiwa. Kematian yang terjadi dalam carok tidak hanya merenggut nyawa seseorang, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan kerabat. Carok merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum positif di Indonesia. Pelaku carok dapat dihukum dengan pasal pembunuhan atau penganiayaan berat.

Pihak kepolisian telah menetapkan Hasan Busri dan Mawardi sebagai tersangka sejak Senin, 15 Januari 2024, dengan dikenakan Pasal 340 KUHP dan/atau Pasal 338 KUHP dengan ancaman paling lama 15 tahun penjara.

Carok juga mencoreng citra budaya Madura. Carok sering kali disalahartikan sebagai bagian dari budaya Madura. Padahal, carok tidak mencerminkan nilai-nilai luhur budaya Madura yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan.

Terlibat Politik Praktis

Karena terpandang dan berkharisma di desa, hampir setiap perhelatan pemilihan klebun atau kepala desa, blater terlibat langsung dalam politik praktis ini. Bahkan, klebun di Madura, umumnya berasal dari sosok seorang blater.

Menjadi kepala desa berarti memiliki otoritas di desa, yang dapat dikapitalisasi sebagai sarana penguatan politik, ekonomi, dan budaya. Tak hanya kepala desa, kursi anggota legislatif maupun pejabat eksekutif di kabupaten berpeluang bisa diraih.

Kalau hanya sekadar menjadi bagian dari tim sukses calon bupati, calon gubernur hingga calon presiden, tampaknya mudah dicapai oleh seorang blater. Ini karena faktor kharisma dan popularitas sebagai jagoan.

Sumber bacaan: Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura, cetakan I, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2004)

Pos terkait