Agama Bumi (Bagian 4) 

Pernah terjadi sejarah kelam sebuah ajaran pada saat itu tidak selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ilmiah berpendapat bahwa bumi berotasi pada porosnya dan ia mengelilingi matahari. Sementara, ada ajaran saat itu yang mengatakan sebaliknya, bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi.

 

Manusia rasional dan dinamis selalu memiliki “rasa ingin tahu” (carriousity) dan tidak menjadi persoalan apakah ilmu pengetahuan itu akan berguna langsung terhadap kehidupannya atau tidak. Walaupun agama lebih banyak membahas “pengetahuan universal” yang bersifat metaphisis namun ia tidak boleh melupakan ajaran yang berkenaan langsung dengan sendi kehidupan manusia. Sebagai contoh ada ajaran yang berkembang di masyarakat yang umatnya justru tidak boleh belajar filsafat. Bisa jadi ajaran agamanya yang patut dipertanyakan, atau mungkin juga itu hanya pendapat dari mahzab atau sekte yang berkembang dalam ajaran tersebut. Tapi apa pun itu, manakala ia tidak selaras dengan tujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (scient) maka ajaran tersebut tidak bisa dijadikan rujukan, sandaran, dan pedoman hidup umat manusia.

 

Ilmu pengetahuan manusia senantiasa terus berkembang, dan agama tidak bisa menolak bahkan mungkin menghentikannya. Berkaitan dengan hal terebut, ilmu pengetahuan bukan harus mengikuti agama, tapi agama yang selaras pasti di dalam ajarannya memuat prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Agama yang benar pasti akan menyuruh umatnya untuk terus berpikir, merenung, dan mengkaji alam ciptaan ini. Ajaran yang benar pasti menuntun umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memiliki kreativitas dalam membangun peradaban umat manusia.

 

Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda. Agama bersifat pewahyuan, dan ilmu pengetahuan bersifat penalaran ilmiah, studi banding, dan penelitian. Agama bersifat tetap, permanen, dan memuat hukum-hukum dasar pengetahuan manusia. Sebagai contoh ada di dalam al kitab yang menyebutkan bahwa manusia dicipta dari air hina (mani, sperma), dari sari pati tanah atau mineral dasar, dan dari tanah (proses kemenjadian, di dalm filsafat dikenal dengan gerak substansial). Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat relatif dan dinamis. Bongkar pasang hasil penilitian karena berbeda sampling, mencari rumus baru, menemukan formula baru, melakukan tesis dan antitesis untuk menghasilkan sintesa baru, tumpang tindih hipotesa sebelum menentukan hukum baru, dst.

 

Memilih Agama

Secara filosofis manusia dalam memandang realiatas ini bisa dikelompokkan menjadi tiga:

pertama, kelompok yang berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada realitas Tuhan, kelompok ini dekenal dengan istilah atheis. Tuhan bagi mereka merupakan angan-angan, hayalan, karangan, konsepsi, dan konstruksi berpikir manusia karena melihat ketidakmampuannya melawan kekuatan alam ini. kelompok ini mengalami banyak perubahan dari pahaman yang benar-benar tidak percaya terhadap Tuhan dan konsepsi tentang ketuhanan dalam bentuk apapun, telah bergeser menajdi tidak percaya terhadap Tuhan yang dipahami kaum agamawan yang menurut kajian filosofis juga tidak rasional. Tuhan yang dipahami begitu sempit oleh agamawan (antropomorphis, mutajasimah) seperti Tuhan itu berbentuk laiknya manusia dengan mengatakan bahwa Tuhan itu panya tangan, mulut, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya juga ditentang oleh kelompok atheis.

Kedua, kelompok theis yang meyakini bahwa ada kekuatan “maha” yang telah menyusun dan mengatur alam ini. Keteraturan alam secara detail telah memberikan bukti sampai pada tataran yakin bahwa ada “realitas sejati” yang tidak pernah absen untuk mengelola alam ini. Dia yang selalu “ada” atau selalu jadi, selalu hidup, selalu berkehendak, dan berpengetahuan mutlak mengatur dan menjalankan roda kehidupan alam ini. Dialah Tuhan dengan segenap atributNYA yang serba “maha”, mahaadil, mahamemberi, mahapengampun, mahamelihat, mahalahir atau mahanampak dan sekaligus mahabatin atau mahatersembunyi, mahamendengar, mahaberbicara, mahaabadi, mahaaktif, mahaazali, mahaberkehendak, mahamenentukan, mahamengatur, dll.

Ketiga, kelompok yang ragu terhadap ada atau tidaknya Tuhan. Ia berada ditengah-tengah antara sebagai theis dan atheis. Mereka tidak meyakini adanya Tuhan, namun mereka juga tidak bisa mengingkari dan menolak bahwa alam ini pasti berawal dari sesuatu. Kelompok skeptisis seperti ini selalau mencari, mengkaji, dan meniliti dengan sungguh-sungguh fenomena alam. Kelompok yang juga dikenal dengan istilah agnostic ini ingin mengetahui dari mana awal kemunculan alam, ada apa dibalik alam ini, dan hal lain yang berkaitan dengan eksistensi diri dan alam semesta.

Dengan tidak bermaksud mengesampingkan pembahasan agnostic dan atheis, selanjutnya mari kita fokus pada kelompok yang menjatuhkan pilihannya untuk menjadi seorang theis. Menjadi theis bukan berarti juga ia akan memilih dan meyakini kebenaran agama. Ada banyak alasan kenapa seorang theis tidak sekaligus meyakini kebenaran agama, dua diantaranya yaitu; pertama, mereka menganggap bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa berbicara dengan Tuhan sebagai sesuatu Yang Tidak Terbatas, dan kedua, ia meyakini bahwa tidak ada hukum dan kebenaran mutlak yang keluar dari manusia. Ia meyakini hukum mutlak dan kebenaran hanya berasal dari Tuhan, Sang Realitas Sejati. selainNYA bersifat relatif, nisbi, dan temporal.

Dalam menyikapi kebenaran agama yang ia yakini bahwa ada Tuhan sebagai sesuatu yang mutlak, sejati, dan tidak terbatas, pada gilirannya secara kategoris (bukan pembagian logis) kelompok theis melahirkan beberapa pandangan terhadap agama yang ada saat ini. Ringkasnya secara umum terbagi menjadi empat kelompok;

Pertama, yaitu kelompok yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama yang benar-benar sebagai agama yang direstui Tuhan, agama yang orisinil dari Tuhan, dan agama yang terjaga kesucian ajarannya sampai akhir zaman. Kelompok yang berpandangan seperti ini kita istilahkan sebagai kelompok eksklusif, mereka berpendapat bahwa selain agama yang dianutnya pasti salah. Eksklusif bukan berarti bahwa agama ini tertutup dan menutup diri dari kalangan tertentu, juga bukan bermakna memilih-milih umat untuk diyakini. Tidak pula menjauh dari sikap toleransi terhadap agama yang lain, dan bahkan, eksklusif jangan diartikan ia ingin memaksakan kehendak secara otoriter dan membangun kediktatoran baru untuk menyeragamkan sistem keagamaan di muka bumi ini.

Kedua, kelompok inklusif, artinya mereka memandang bahwa agama ini mempunyai klasifikasi dan urutan kebenaran. Jadi menurut mereka ada agama yang paling benar, sebagai contoh agama “I”, kemudian agama “K” dengan tingkat kebenaran dibawahnya, selanjutnya agama “Y”, dan disusul oleh agama-agama lain.

Ketiga, kelompok pluralis, mereka berpendapat bahwa agama apa saja (agama langit) itu benar dihadapan Tuhan, dengan argumen bahwa semua agama itu bersumber dari Tuhan dan bertujuan untuk mengabdi kepada Tuhan.

Keempat, kelompok yang disebut dengan elektisis, kelompok ini bahkan tidak menyalahkan dan membenarkan salah satu agama apapun. Tapi mereka beragama , daripada tiak beragama sama sekali, bertujuan sebagai antisipasi alih-alih setelah kehidupan alam dunia ini ternyata benar-benar ada kehidupan lain.

Untuk membedah lebih jauh lagi terhadap pembagian kategori tersebut butuh kehati-hatian, sebab agama itu masalah keyakinan yang tidak mudah untuk digeser atau dialihkan berpindah dari satu kepada agama lain layaknya bongkar pasang memakai baju setiap hari. Perkara ini pun sangat sensitif karena menyangkut ego dan harga diri penganut agama. Perlu kearifan dan kebijaksanaan lebih manakala kita mau betul-betul membahasnya.

Tidak bermaksud untuk menyinggung pemahaman orang lain, sebagai tambahan, eksklusivisme dalam beragama sangat logis, sangat rasional, dan sangat dibenarkan. Sebab jika tidak, maka alasan apa yang menjadi dasar seseorang untuk bersusah payah menjalankan aturan, hukum-hukum, dan ritual-ritual keagamaan yang ia yakini. Akan menjadi mubazir dan sia-sia seluruh aktivitas keagamaan yang ia jalankan. Memandang semua agama benar akan menyulitkan seseorang untuk menentukan hukum atau syariat yang berlaku terhadap dirinya sendiri. Atau memandang semua agama punya nilai kebenaran tertentu akan membuat “PR” baru untuk mencari agama yang terbaik bagi dirinya. Sebab tidak mungkin meyakini bahwa ada “pengadilan’” di hari akhierat kelak, sementara ia masih asal-asalan menentukan pilihan agama selama hidup di dunia ini. Terakhir, jika masih melihat bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang dimiliki oleh agama apapun, maka akan menjadi lucu manakala ia menjatuhkan pilihan terhadap salah satu agama. Menjadi absurd dan tertolak jika ia selama hidupnya mau diatur oleh agama tapi sementara ia sendiri tidak meyakininya bahwa agama itu adalah agama yang paling benar.

Pos terkait

banner 468x60