Carok dan Banalitas Kejahatan

Carok adalah duel maut yang masih dipraktikkan di beberapa daerah di Pulau Madura, Jawa Timur. Kebiasaan ini dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan atau balas dendam atas kematian anggota keluarga. Carok sering kali melibatkan dua orang atau lebih yang saling menyerang dengan senjata tajam, seperti celurit atau parang, hingga salah satu pihak terbunuh.

Konsep banalitas kejahatan yang dirumuskan oleh filsuf politik, Hannah Arendt dapat digunakan untuk memahami tradisi carok. Arendt mendefinisikan banalitas kejahatan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang kehilangan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara moral.

Dalam konteks carok, kejahatan tersebut adalah pembunuhan. Orang-orang biasa yang terlibat dalam carok adalah mereka yang terikat oleh tradisi, kepatuhan pada norma sosial, dan ketidakmampuan untuk berpikir kritis tentang alternatif lain.

Carok seolah telah diturunkan dari generasi ke generasi dan dianggap sebagai cara yang terhormat untuk menyelesaikan perselisihan. Norma sosial di beberapa daerah Madura mendiktekan bahwa balas dendam adalah hal yang wajib dilakukan atas kematian anggota keluarga.

Ketidakmampuan untuk berpikir kritis tentang alternatif lain adalah faktor yang memperkuat carok. Orang-orang yang terlibat dalam carok sering kali tidak memiliki pilihan lain karena mereka terikat oleh tradisi dan norma sosial.

Banalitas kejahatan dalam konteks carok dapat dilihat dari beberapa aspek yakni, kejahatan dilakukan oleh orang-orang biasa yang bukan monster atau psikopat. Kejahatan dilakukan karena kepatuhan pada tradisi dan norma sosial. Kejahatan dilakukan tanpa pemikiran kritis tentang alternatif solusi lain dari masalah.

Konsep banalitas kejahatan dapat membantu kita memahami mengapa carok masih berlangsung hingga saat ini. Konsep ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak selalu dilakukan oleh monster, melainkan oleh orang-orang biasa yang kehilangan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara moral.

Carok adalah kebiasaan yang berbahaya dan tidak manusiawi. Perlu ada upaya untuk dihapus dan menggantinya dengan cara yang lebih damai menyelesaikan perselisihan.

Carok dalam pandangan Masyarakat Madura

Dari studi Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura (2015) dalam jurnal El Harakah, carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu) atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Sejak tahuan 1970-an terdapat pergeseran, carok kadang kala dilakukan secara nyelep. (tempo.co, Selasa, 23 Januari 2024)

Kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep, etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutal dan egois. Carok membawa pandangan negatif terhadap masyarakat Madura. Orang Madura acap dikaitkan dengan perilaku yang kasar dan arogan, bahkan menakutkan. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, namun memberikan citra buruk pada masyarakat Madura

Meski masyarakat Madura dikonotasikan negatif, studi pada 2015 tersebut justru menunjukkan hasil sebaliknya. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan empat sikap individu terhadap carok meliputi: 75 persen tidak senang memiliki tradisi carok, 60 persen tidak melakukan carok, 77,38 persen, menyelesaikan persoalan secara bijak tanpa carok, dan 77,40 persen tidak melakukan carok karena taat terhadap hukum negara dan agama.

Penelitian juga mengategorikan lima sikap kelompok orang Madura terhadap carok meliputi: 64,16 persen menerima carok bukanlah budaya orang Madura, 81,11 persen menyatakan masyarakat Madura cinta damai, 86,11 persen menyatakan carok tidak mewakili orang Madura, 82,44 persen menerima carok merupakan perbuatan keji dan melanggar hukum, dan 76,11 persen menyatakan akan menyelesaikan persoalan secara bijak tanpa carok.

Mungkinkah Carok Dihentikan?

Beberapa solusi penghentian carok: pemerintah perlu menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku carok. Hal ini dapat memberikan efek jera dan mencegah orang lain melakukan carok. Masyarakat perlu diedukasi tentang bahaya carok dan nilai-nilai perdamaian. Pendidikan ini dapat dilakukan melalui sekolah, pesantren, dan media massa.

Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan mereka akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial yang memadai. Hal ini dapat membantu mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan yang menjadi salah satu faktor penyebab carok.

Pendekatan budaya dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat perlu sebagai upaya menghentikan carok. Mereka dapat menggunakan pengaruhnya untuk mendorong masyarakat meninggalkan kebiasaan carok dan beralih ke budaya perdamaian. Butuh upaya bersama dari semua pihak, carok dapat dihentikan dan masyarakat Madura dapat hidup damai dan sejahtera.

Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya bila kita mengingat kembali apa yang dikatakan Zawawi Imron, penyair “Celurit Emas” di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada tanggal 22 November 1984 silam. (“Celurit Emas” yang Mengasah Ketajaman Jiwa, Rusdi El Umar, Alumnus PP Annuqayah Sumenep, dalam duniasantri.co)

“Tetapi Celurit Emas bukan lambang kejantanan.

Clurit senjata tradisional Madura itu sudah saya hancurkan,

saya lebur dalam kawah religiusitas dan spiritual saya,

Lalu saya campurkan dengan tangis orang-orang terhina,

saya luluhkan dengan jiwa dan darah para pahlawan dan berjuta kasus kemanusiaan lainnya sehingga menjelmalah dari celurit (itu) kebijaksanaan.”

Pos terkait

banner 468x60