Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) menuai kasak kusuk yang mencurigakan bagi rakyat Indonesia. Rakyat seolah-olah tidak percaya akan efektivitas program ini sehingga muncul asumsi pesimistis akan keberhasilannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi tentang Tapera ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Secara garis besar kebijakan ini mengatur pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen setiap bulannya. Simpanan Tapera ini bersifat mengikat atau wajib dibayarkan oleh PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, BUMN, swasta, bahkan pekerja mandiri.
Jika kita telisik lebih dalam lagi, kebijakan ini justru semakin menambah beban hidup masyarakat Indonesia ditengah kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak sebanding dengan kenaikan upah minimum tahunan. Belum lagi kita ketahui bersama korupsi di Indonesia seakan-akan sudah menjadi budaya baru bagi pejabat-pejabat pemangku kekuasaan. Bagaimana kalau Tapera ini dikemudian hari menjadi lumbung baru untuk korupsi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Melalui pandangan historis singkatnya, Tapera merupakan pengalihan dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Bapertarum-PNS. Pengalihan pengelolaannya mulai terjadi sejak UU Tapera muncul. Berdasarkan situs BP Tapera, Bapertarum adalah badan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1993 yang ditetapkan Presiden ke-2 Soeharto pada 15 Februari 1993. Beperatrum mengemban tugas meningkatkan kesejahteraan PNS melalui skema bantuan dalam memiliki rumah yang layak. Caranya dengan melakukan pemotongan gaji para pegawai negeri sipil dan mengelola tabungan perumahan. Potongan gaji itu sesuai dengan golongan PNS. Mulai dari Rp3.000 untuk golongan I, Rp5.000 untuk golongan II, Rp7.000 golongan III, dan Rp10 ribu golongan IV. Nilai iuran ini tidak pernah mengalami peningkatan hingga dihentikan oleh menteri keuangan per Agustus 2020.
Sebenarnya gagasan Tepera ini bagus, gagasannya berlandasan prinsip fundamentalis gotong royong. Negara hadir untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warganya untuk bisa memiliki rumah sendiri. Jika gagasan ini diatur dan dikelola dengan baik dan bijak tidak menutup kemungkinan kesejahteraan papan untuk warga negara tercapai dengan skala makro. Tapi coba kita lihat moralitas bangsa kita hari ini adalah korup. Ini yang paling dikhawatirkan. Belum lagi menyoal temuan baru dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI tentang permasalahan pengadaan barang/jasa yang bermasalah oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) selama 2022 hingga semester I 2023.
Temuan tersebut diterbitkan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Aset BP Tapera Tahun 2022 Sampai dengan Semester I Tahun 2023 bernomor 6/LHP/XVI/01/2024. Laporan tersebut mengungkapkan, BP Tapera merealisasikan Beban Umum dan Administrasi (Dengan Pembatasan dari Pemberi Sumber Daya) sebesar Rp10.032.695.209 pada 2022 dan sebesar Rp120.988.907 pada Semester I 2023. (Sumber: Kabar24.bisnis.com)
Memang perlu relfeksi massal bagaimana carut-marutnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Terlebih di sisa periodik Presiden kurang lebih tinggal empat bulanan lagi harusnya bisa landing dengan baik. Tidak meninggalkan jejak kepemimpinan yang menindas rakyat kecil terutama soal Tapera ini yang terbebani adalah kaum buruh yang belum berpenghasilan banyak.
Beberapa di parlemen juga mengkritisi kebijakan Tapera ini seperti dari Fraksi PDI-Perjuangan yang disampaikan oleh Rieke Diah Pitaloka mendesak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dibatalkan jika pemerintah tidak segera membenahi penerapan regulasi tersebut.
Kebijakan yang dihasilkan hanya untuk melahirkan legitimasi baik, terburu-buru, dan sembunyi-sembunyi dapat dipastikan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.