Korps HMI-Wati (KOHATI) sebagai lembaga yang berstatus semi otonom yakni lembaga yang tetap berada dibawah naungan HMI namun memiliki mekanisme organisasi dan pedoman organisasi nya sendiri. KOHATI berdiri pada 17 September 1966 di kongres VIII di Solo. Tugas KOHATI tertuang dengan jelas sebagai badan khusus yang bertanggungjawab terhadap pembinaan, pengembangan dan yang berwenang mengembangkan potensi kader HMIwati dalam wacana dan dinamika keperempuanan. Lembaga ini bersifat exofficio artinya didalam internal HMI, KOHATI menjadi bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) sekaligus diluar HMI peran KOHATI merangkap sebagai organisasi perempuan.
Sebagaimana dipahami dalam mekanisme organisasi, Badan Semi Otonom (BSO) memiliki keluasaan dan kewenangan untuk beraktivitas dan berproses di HMI utamanya yang berfokus pada isu-isu perempuanan, pengembangan kualitas HMIwati baik dilihat dari potensi intelektual maupun kreativitas. Dalam Pedoman Dasar Kohati (PDK) KOHATI HMI disebut dengan gamblang tujuan didirikannya KOHATI adalah terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Keberadaan KOHATI dimaksudkan untuk akselerasi tujuan HMI dan meletakkan titik fokus pada isu perempuan,
HMI Cabang Jember sebagai salah satu organisasi mahasiswa yang kental dengan dinamika sejarah juga memiliki Badan Semi Otonom (BSO) KOHATI yang masih eksis sampai hari ini. KOHATI HMI Cabang Jember menjadi harapan dan wadah gerakan perempuan khususnya HMIwati untuk berkontribusi lebih banyak pada isu-isu perempuan ternyata tak lepas dari problematika klasik ala organisasi-organisasi hari ini. KOHATI HMI Cabang Jember yang idealnya mampu menjadi oase ditengah gersangnya keadilan bagi perempuan khususnya di Jember. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana kondisi memilukan yang dialami banyak perempuan hari ini sebut saja salah satunya kekerasan dan pelecehan seksual, pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga, nasib buruh pekerja perempuan yang tak kunjung memperoleh keadilan dan isu-isu strategis yang lain ternyata tak sempat digarap sebab problem klasik dan fundamental organisasi yakni minimnya partisipasi.
HMI Cabang Jember memiliki kader-kader HMIwati yang melejit secara kuantitas namun minim kesadaran dan minim kepemilikan terhadap KOHATI itu sendiri. Kesadaran (awareness) dan kepemilikan (belonging) adalah hal yang mutlak dimiliki kader HMIwati untuk kemudian mampu membenahi KOHATI. Pertama, kesadaran bahwa siapa lagi yang akan membela perempuan kalau bukan sesamanya, kesadaran bahwa isu-isu perempuan harus diadvokasi, hak dan perlindungan atas korban pelecehan dan kekerasan seksual harus terpenuhi, anak-anak perempuan yang harus diselamatkan masa depannya, buruh-buruh perempuan yang harus termarjinalisasi dan banyak hal lain. Kedua, kepemilikan terhadap KOHATI menjadi hal fundamental yang harus dimiliki paling tidak ketika bekal kesadaran kolektif telah terpenuhi spirit untuk menghimpun kesadaran itu dihidupkan melalui KOHATI maka berangkat dari sini isu-isu perempuan bisa digarap dan diselesaikan satu persatu.
Minimnya partisipasi sebenarnya menjadi sesuatu yang layak dipertanyakan sebab jika dilihat di tiap-tiap komisariat di Cabang Jember memiliki kader HMIwati yang harusnya mampu berdaya dan diberdayakan. Berdaya atas dirinya sendiri dan diberdayakan melalui Korps HMI Wati sebagai Badan Semi Otonom yang memiliki tujuan mulia sejak awal didirikan. Fakta kealpaan KOHATI dalam agenda-agenda eksternal yang seyogyanya menempatkan KOHATI sebagai organisasi perempuan salah satunya tidak adanya keterlibatan secara aktif dalam advokasi kasus kekerasan seksual yang ada di Jember misalnya kasus Suara Untuk Nada yang sempat ramai sebab tersangkanya adalah dosen di salah satu kampus negeri di Jember atau dalam peringatan 16HAKTP 2022 yang harusnya mampu menjadi wadah KOHATI untuk mengedukasi publik dan sebagai tindakan preventif kasus kekerasan seksual terhadap para perempuan ternyata juga tidak dimanfaatkan dengan baik. Diranah internal, tampak dari bagaimana pelaksanaan MUSKOHCAB XXXIII mulai dari sidang pleno I sampai dengan sidang pleno IV berlangsung bahkan sampai terpilihnya formatur KOHATI yang baru, pengurus KOHATI Cabang Jember yang mempertanggungjawabkan kepengurusannya hanya ada dua orang. Cukup memilukan.
KOHATI harus kembali pada esensi mengapa ia didirikan, personalia kepengurusan dan sistem keorganisasian juga harus dirombak secara penuh, menjadi tugas kepengurusan baru untuk mengembalikan “taring” KOHATI HMI Cabang Jember sebagai akselerator tujuan HMI dan mampu memberi nafas baru bagi gerakan perempuan yang ada di Jember, KOHATI HMI Cabang Jember harus bertransformasi menjadi role model gerakan yang fokus pada isu-isu strategis perempuan sebab jika tidak maka KOHATI tak ubahnya sebagai sebuah benalu yang mencatut nama besar Himpunan Mahasiswa Islam.
Tujuan mulia yang digagas KOHATI sejak awal berdiri hanya akan menjadi bualan dan berhenti sebagai teks ketika realita di lapangan menunjukkan bahwa kader HMIwati khususnya di Cabang Jember abai dan tidak mewarisi spirit para pendiri KOHATI. Menjadi PR dan tugas bersama untuk menuntaskan problematika ini sebab KOHATI hanya akan menjadi lembaga nirmakna ketika hanya berkutat pada eksistensi dan minim substansi, gerakan-gerakan tanpa inovasi dan nol gebrakan untuk mengentas segala bentuk kejahatan dan penindasan sebab sebagaimana diketahui dalam Pedoman Perkaderan HMI bahwa segala bentuk penindasan adalah thagut yang harus dilawan.