Pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang membatasi ekspresi keagamaan, termasuk melarang perempuan Muslimah mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri dan beberapa institusi publik. Kebijakan ini menimbulkan keresahan dan protes dari berbagai kalangan umat Islam yang merasa hak beribadah mereka terabaikan. Di tengah situasi ini, muncul sosok Emha Ainun Nadjib, yang dikenal luas sebagai Cak Nun, seorang budayawan dan intelektual Muslim yang mengambil langkah kreatif dan berani untuk menentang kebijakan tersebut.
Latar Belakang Larangan Berhijab di Era Orde Baru
Pada era Orde Baru, pemerintah memberlakukan aturan ketat terkait penampilan di institusi-institusi publik, termasuk sekolah. Jilbab, yang pada saat itu belum sepopuler sekarang, dipandang sebagai simbol yang berpotensi memicu radikalisme dan dianggap mengancam persatuan nasional. Akibatnya, banyak sekolah melarang siswi Muslim untuk mengenakan jilbab, yang kemudian memicu ketidakpuasan di kalangan umat Islam, terutama para orang tua yang ingin anak-anak mereka bisa mengekspresikan keyakinan agama mereka melalui pakaian.
Larangan ini menjadi isu nasional yang memicu perdebatan sengit. Banyak yang merasa bahwa kebijakan tersebut melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk menjalankan ajaran agama. Namun, di tengah kondisi politik yang represif, protes terbuka terhadap kebijakan ini sering kali dibungkam. Meskipun begitu, perlawanan di tingkat akar rumput terus berlangsung, menantang kebijakan yang dianggap tidak adil ini.
Cak Nun dan Pentas Teater “Lautan Jilbab”
Cak Nun, yang dikenal sebagai seorang seniman, penulis, dan intelektual Muslim, melihat situasi ini sebagai tantangan untuk mengekspresikan perlawanan melalui jalur budaya dan seni. Ia meyakini bahwa seni dapat menjadi medium yang efektif untuk menyuarakan keadilan dan menginspirasi perubahan sosial.
Pada tahun 1990, Cak Nun menciptakan sebuah karya monumental berjudul Lautan Jilbab. Karya ini tidak hanya hadir sebagai novel, tetapi juga diadaptasi menjadi pementasan teater yang membawa pesan kuat tentang kebebasan beragama dan hak perempuan untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Lautan Jilbab mengisahkan perjuangan perempuan-perempuan Muslim yang berusaha mengenakan jilbab di tengah tekanan sosial dan kebijakan pemerintah yang diskriminatif.
Pementasan Lautan Jilbab diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia, menarik perhatian luas dari masyarakat. Ribuan perempuan yang mengenakan jilbab hadir dalam pementasan ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap hak beragama. Pementasan ini bukan hanya menjadi bentuk protes simbolis, tetapi juga memicu gerakan sosial yang meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak beragama.
Pementasan Lautan Jilbab oleh Cak Nun dan respons masyarakat yang kuat terhadapnya tidak luput dari perhatian pemerintah Orde Baru. Namun, alih-alih memberikan ruang dialog, pemerintah melihat kegiatan ini sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas politik yang dikontrol dengan ketat. Aparat keamanan mengawasi pementasan-pementasan ini dengan cermat, dan beberapa pementasan bahkan menghadapi ancaman pembatalan atau gangguan oleh pihak berwenang.
Pemerintah Orde Baru berusaha meredam pengaruh pementasan ini dengan berbagai cara, termasuk tekanan terhadap penyelenggara dan pembatasan kebebasan berekspresi yang lebih ketat. Meskipun demikian, popularitas dan dampak dari Lautan Jilbab tetap meluas, menginspirasi banyak orang untuk lebih berani menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
Lautan Jilbab memiliki dampak besar dalam memperkuat gerakan perempuan Muslim di Indonesia. Melalui pementasan ini, Cak Nun berhasil mengangkat isu jilbab dari sekadar perdebatan agama menjadi isu kebebasan sipil yang lebih luas. Pesan yang disampaikan adalah bahwa berjilbab bukan hanya soal keyakinan agama, tetapi juga hak asasi manusia untuk mengekspresikan identitas diri tanpa tekanan atau ancaman.
Pementasan Lautan Jilbab juga berhasil menggugah kesadaran masyarakat luas akan pentingnya menghormati kebebasan beragama. Seni sebagai alat dialog terbukti mampu melintasi batas-batas ideologis dan politis, membawa isu ini ke pusat perhatian publik dan mendorong perubahan sosial yang lebih luas.
Setelah bertahun-tahun perjuangan, jilbab akhirnya mulai diterima sebagai bagian dari identitas Muslimah di Indonesia. Larangan berjilbab di institusi pendidikan dicabut setelah runtuhnya Orde Baru. Cak Nun, melalui Lautan Jilbab, berhasil menunjukkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa dilakukan dengan cara yang kreatif dan penuh makna.
Lautan Jilbab tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan diskriminatif, tetapi juga menjadi titik balik dalam gerakan berjilbab di Indonesia. Hingga kini, Cak Nun tetap dikenal sebagai sosok yang berani menyuarakan kebenaran melalui seni dan budaya, menginspirasi gerakan kebebasan sipil di Indonesia, dan mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia bisa dilakukan melalui berbagai cara, termasuk seni dan budaya. Cak Nun menunjukkan bahwa seni dan budaya bisa menjadi senjata ampuh dalam melawan ketidakadilan dan menuntut perubahan sosial yang lebih adil dan manusiawi.