Soto, Teh dan Kain

  • Whatsapp

Darimana datangnya rukun? Paling mudah, biasanya dari pangan dan sandang. Maksudnya, pada kebutuhan bersama untuk aman secara pangan dan sandang, orang akan bertemu. Tidak peduli apa suku, agama, ras, gender, kelas sosial, maupun ideologi yang melatarinya. Kebutuhan itu mengikat orang untuk ketemu, saling melakukan pertukaran, dan perlahan-lahan akhirnya membentuk masyarakat.

Soto, misalnya, menautkan lidah aneka golongan. Pedagang soto keliling dilakukan oleh orang-orang dari aneka suku. Orang berjumpa dan bergaul lalu sebagian meluaskan pembicaraan bersama lezatnya soto yang mereka santap. Pertukaran kecil pun terjadi, berlangsung dalam suasana sederhana.

Ilustrasi interaksi jual beli. (Sumber foto : istimewa)

 

 

 

 

 

Pada masyarakat feodal, teh disuguhkan lewat relasi sosial yang tak selalu adil. Relasi sosial yang timpang ikut lestari bersama para jongos yang rajin membuat dan menyajikan teh untuk para majikan. Kerap pula teh diproduksi dengan pengorbanan para buruh demi keuntungan kapital. Pasar teh di Eropa ikut diwarnai dengan teh-teh yang diproduksi perkebunan di wilayah-wilayah kolonial di Asia Tenggara pada abad ke-19.

Pada jagad kecil maupun pada jagad besar, pada kapital maupun relasi sosial dalam produksi, teh bukan hanya melahirkan hubungan yang timpang. Teh setidaknya juga menyuguhkan sejenis kehidupan kecil yang membahagiakan.

Kain juga punya cerita. Di awal abad XX orang Cina terkenal dengan jaringan perdagangan kain mori di Betawi. Mereka menguasai jaringan perdagangan kain mori di Tanah Abang. Sementara orang Arab menguasai kain pelekat. Masing-masing punya pasarnya sendiri. Dua golongan itu hidup berdampingan dengan cara hidup mereka masing-masing. Kadang bersaing, kadang hidup harmonis.

Soto, teh, dan kain hanyalah beberapa yang bisa mempertemukan “yang berbeda.” Ketiganya seperti jalinan benang yang mengikat satu sama lain, dan muncul mewarnai bentuk-bentuk pergaulan sosial.

Jaman modern sebenarnya hanyalah perluasan dan pelipatgandaan dari jumlah pertemuan dan pertukaran. Bedanya, pertemuan lebih banyak menggunakan “medium” dan pertukaran bisa berlangsung bukan saja antara benda-benda konkrit, tapi juga simbol-simbol, pikiran, gagasan, dan informasi.

Soto, teh, dan kain juga mengalami sentuhan kebaruan dalam sajian. Ketiganya bisa dihadirkan dengan kemasan yang indah. Lalu disajikan bersama tata pergaulan yang makin modern, juga dengan daya konsumsi yang telah tumbuh pesat, dan pemaknaan yang mungkin saja makin bermotif keuntungan material.

Tetapi jika kita ingin kembali pada makna asli, lalu dengan itu meminjam formula negation of negation-nya Herbert Marcuse, yang tersisa menjadi jelas dan sederhana sekali. “Formula peniadaan atas peniadaan” itu mungkin bisa berupa rumus atau penjelasan dialektis yang rumit. Tetapi sebenarnya tidak juga. Suasana dialektis kadang tidak harus diselesaikan dengan revolusi. Suasana pertentangan bisa dimulai dari menerima kenyataan yang banal dan kasat mata ini. Jika semua yang bertentangan dikurangi, yang muncul menjadi macam ini:

Soto, teh, dan kain adalah kita

Ketiganya ikut dalam momen yang mempertemukan dan mempertukarkan kita dengan kita, juga kita dengan mereka.

Jadi, berbahagialah dengan mengonsumsi soto, teh, dan kain. Itu artinya, dalam situasi damai maupun konflik, sesungguhnya kita masih bisa ketemu. Revolusi citarasa dari evolusi pengolahan teh, soto dan kain ternyata selalu mengikat kita dalam hidup bersama.

Pos terkait