Hijab Perempuan Iran

  • Whatsapp

Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran di bawah Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, Iran mendekonstruksi masyarakat lama dan menyusun masyarakat baru. Masalah hijab (veil) menjadi salah satu agenda penting. Dalam rangka mewujudkan Islamic Society, dikeluarkanlah aturan wajib mengenakan hijab secara resmi bagi perempuan Iran. Kebijakan compulsory veiling ini mengoreksi tuntas kebijakan de-veiling atau larangan mengenakan hijab di era Shah Iran. Dua dekade setelah revolusi Islam, masyarakat Iran mulai menampilkan sesuatu yang berbeda terkait hijab. Kaum perempuan Iran mengenakan hijab dengan bentuk yang demikian beragam. Mengapa bisa terjadi?

Dr Homa Hoodfar, perempuan keturunan Iran yang kini menjadi warga negara Kanada juga dikenal sebagai salah satu peneliti terbaik tentang kehidupan kaum perempuan dalam masyarakat Islam menulis beberapa kajian tentang hijab. Salah satu artikelnya yang dianggap paling menarik berjudul “The Veil in Their Minds and On Our Head: The Persistence of Colonial Image of Muslim Women.”

The Veil in Western Mind

Perdebatan klasik kerap muncul saat modernisasi dipilih sebagai jalan mengejar ketertinggalan dari Barat. Tetapi dalam praktik, sebagaimana sering dikritik, wujud modernisasi ternyata lebih condong ke westernisasi atau meniru gaya hidup Barat. Di Turki, Iran, dan Mesir soal hijab pernah (dan masih) menjadi isu penting jika dikaitkan dengan pandangan berorientasi modern dengan orientasi kebarat-baratan.

Barat memang melihat hijab sebagai simbol keterbelakangan, keterpenjaraan, kemunduran, dan pembatasan atas perkembangan kaum perempuan. Pada bingkai modernisasi di Timur, itu berarti bahwa kemajuan bagi kaum perempuan bisa terdefinisikan jika mereka tak lagi mengenakan hijab. Pandangan ini sangat sepihak. Setidaknya, di situ tergambar “culturally insensitive” alias ketidakpekaan budaya.

Apakah para modernis dan reformis di beberapa masyarakat muslim memaknainya seperti itu?

Prof Homa Hoodfar mengambil contoh di Mesir. Menurutnya, ada sudut pandang yang berbeda. Kaum reformis juga anti kolonialisme Barat, tetapi mereka mengembangkan sendiri sesuatu masyarakat, dan intens mendiskusikan posisi kaum perempuan di dalamnya. Kritik terkeras terhadap hijab, seperti disuarakan Qasim Amin (1865-1908) di Mesir dalam bukunya yang kontroversial, Emancipation of Woman dan The New Woman, mendasarkan pada pendapat bahwa hijab sebenarnya tidak memiliki kaitan langsung dengan Islam, dan praktik berhijab lebih menggambarkan praktik yang menyimpang atas nama Islam, untuk menghambat kemajuan kaum perempuan.

Suara-suara macam Qasim Amin dalam tulisan Dr Homa Hoodfar mencerminkan semangat jamannya. Kala itu, di kalangan kaum perempuan elit, muncul gerakan tuntutan perempuan mempunyai hak suara, pendidikan untuk perempuan, dan perbaikan ekonomi dengan perempuan menjadi bagian penting di dalamnya. Apakah dengan begitu kaum perempuan kalangan bawah ikut mengidealkan pandangan kaum elit, ternyata tidak. Bukan karena masalah ideologis yang membuat kaum perempuan kelas bawah kurang berhijab, tetapi semata karena minimnya kemampuan ekonomi untuk bisa melakukannya. Dengan kata lain, karena kondisi-kondisinya, kaum perempuan kelas bawah mengembangkan tradisi hijabnya sendiri.

Di Turki pada masa kekuasaan Kemal Attaturk, kebijakan de-veiling malah berlangsung keras. Polisi diberi kewenangan menarik paksa hijab yang dikenakan para perempuan. Westernisasi yang dijalankan pada tingkat ekstrim, disemangati oleh keinginan memodernisasi bangsa Turki agar setara Barat, membuat persoalan hijab menjadi isu publik yang kuat. Hal yang sama juga terjadi di Iran hingga masa kekuasaan Shah Iran.

Keluarga Dr Homa Hoodfar di Iran juga mengalami insiden hijab ditarik paksa oleh polisi. Neneknya dikejar polisi hanya karena mengenakan hijab di jalan, lalu lari hingga sanggup mencapai gerbang rumahnya. Saat sudah sampai di pintu gerbang, polisi tetap menarik hijabnya. Sang nenek demikian lekat dengan pengalaman itu, sambil bertanya, bagaimana mungkin mereka melakukannya, sementara persoalan hijab juga terjadi di tengah keluarga para polisi itu.

Dampak kebijakan de-veiling bagi perempuan Iran terasa berat. Kaum perempuan jadi subject yang dikontrol ketat, di keluarga maupun masyarakat, dan kemampuan sosialisasi dirinya menurun drastis, dan perlahan tersisih dari kegiatan perdagangan (karpet) karena peranannya dibatasi, dan itu berarti dia tidak kuasa lagi menentukan besar kecilnya gaji/pendapatan dari pekerjaannya. Dampak lebih luas lagi, kaum perempuan makin bergantung pada kaum laki-laki, dan makin kehilangan peluang menjadi financially independent. De-veiling yang bertujuan memodernisasi kaum perempuan, ternyata justru membuat kaum perempuan terpinggirkan makin jauh dalam masyarakat.

Pergantian kekuasaan dari Shah ke para Mullah pada 1979 di Iran menutup habis era de-veiling. Tetapi era baru ternyata juga tidak memberi ruang yang membebaskan kaum perempuan. Atas nama Islamisasi masyarakat Iran, dalam Iranian Personal Law, kaum perempuan Iran tidak mendapat perlindungan kuat dalam keluarga dan perkawinan. Aturan hukum itu justeru makin memberi status legal pada perkawinan mut’ah, poligami, dan kebebasan para pria mencerai isterinya kapanpun dikehendaki.

Hukum Syariah di Iran juga mencegah kaum perempuan menjadi hakim di pengadilan. Bahkan, kaum perempuan juga mengalami pembatasan untuk bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kaum perempuan Iran dari kelompok religius maupun sekuler mengembangkan strategi perlawanan menghadapi hal itu, meski strategi mereka berkembang ke arah yang berbeda.

Gaya Hijab Perempuan di Iran. (Sumber: istimewa)

Dampak compulsory veiling pada era 1990-an di Iran jelas sekali. Kaum perempuan kelas menengah yang terpelajar, yang semestinya merupakan kekuatan aktif dalam pasar kerja, meninggalkan pekerjaan mereka, bahkan keluar negeri meninggalkan Iran dengan sukarela. Mereka juga tereksklusi dari kebijakan pemerintah Iran. Kedudukan mereka yang melemah digantikan oleh kaum perempuan dari kelompok lain, juga oleh kaum pria. Tingkat penyerapan kerja kaum perempuan Iran juga terus meningkat.

Hal yang penting dicatat, kaum perempuan Iran, baik yang secara ideologi mendukung hijab maupun yang menentangnya, pada dasarnya tetap aktif di arena politik. Kaum perempuan Iran dari semua golongan bahkan mampu melakukan lobby hingga bisa memaksa Ayatullah Khomeini menandatangani aturan Family Code pada 1987, berisi aturan yang jauh lebih protektif terhadap keluarga, dibandingkan aturan serupa yang dikeluarkan Shah Iran pada 1969. Di antaranya, para isteri berhak atas separuh harta dalam keluarga jika mereka dicerai suaminya. Progress berikutnya lebih kuat lagi. Parlemen Iran mengesahkan aturan kaum perempuan berhak mendapatkan gaji di tempat mereka bekerja, dan juga memaksa para suami membayar semua tanggungan pada isteri jika bercerai. Sisi itulah yang gagal dilihat para feminis Barat terhadap kaum perempuan Iran.

Perempuan Iran di Luar Negeri

Persoalan hijab bagi perempuan Iran di luar negeri tak kalah menarik. Dr Homa Hoodfar menggunakan contoh kaum perempuan Iran yang tinggal di Quebec, Kanada. Di negeri demokratis seperti Kanada, mengenakan hijab belum sepenuhnya terbebas dari pandangan khas Barat, yang mengatakan hijab adalah bentuk opresi atau penindasan terhadap kaum perempuan. Paling-paling, jika tidak dikaitkan dengan urusan opresi, berhijab kerap dipandang sebagai trend fashion. Masalah seperti ini tentu bukan sesuatu yang tak terjembatani. Pada masyarakat plural seperti Kanada, masyarakat terdiri atas beragam entitas budaya. Hanya saja, Mengenakan hijab masih kerap gagal dipahami sebagai penegasan identitas perempuan Islam. Titik perdebatannya masih belum beranjak dari posisi lama. Dalam pemahaman masyarakat Quebec, identitas perempuan Islam semestinya tidak hanya dalam bentuk hijab. Pendapat macam itu diakui para perempuan muslim yang berhijab sebagai bias. Pasalnya, meskipun kaum perempuan Islam mengenakan hijab, umat Islam Kanada sendiri juga sangat plural, ditandai dengan aneka unsur budaya berasal dari beragam latar belakang komunitas muslim di Kanada. Menganggap hijab sebagai lokus penindasan perempuan jelas cara pandang yang menyederhanakan masalah. Hijab tidak mengurangi progresivitas kaum perempuan.

Bagi generasi baru perempuan muslim Iran di Kanada, kini mereka jauh lebih sadar, sekaligus lebih bebas, dalam memahami semua konsekuensi saat mereka memilih berhijab. Mereka akan tahu bagaimana sudut pandang orang didalam Islam maupun diluar Islam. Mereka juga mengambil pilihan yang berani, karena dengan berhijab mereka melakukan dua hal strategis sekaligus.

Gaya berhijab perempuan Iran. (Sumber : istimewa)

Pertama, berhijab akan memberi penanda positif dalam kemajemukan kultural masyarakat Kanada. Kedua, berhijab juga menjadi cara mempertahankan identitas budaya, ditandai dengan kesadaran menyatu dalam “masyarakat putih” setempat tanpa harus kehilangan identitas muslimahnya.

Belajar dari sejarah perempuan Iran, hijab adalah sesuatu yang kompleks, dinamis, dan merupakan praktik budaya yang terus berubah. Hijab ternyata bisa membawa makna sendiri bagi perempuan yang mengenakannya, yang tidak mengenakannya, bahkan juga oleh kaum pria. Belajar dari pengalaman perempuan Iran berhijab di Iran maupun di Kanada, pelajaran penting ini patut dipetik. Jika di Iran Hijab digunakan oleh negara dan kaum pria untuk mengatur dan mengontrol kaum perempuan, di Kanada kaum perempuan asal Iran secara kreatif menggunakan hijab untuk melonggarkan ikatan patriarki yang dikenakan pada mereka.

Begitulah, jika penyimpangan dari tatanan patriarki melalui de-veiling oleh kaum feminis Mesir tahun 1920-an, lalu protes de-veiling di Iran pada era 1930-an dianggap sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan perempuan, di Kanada ceritanya berbeda.

Kaum perempuan muslim di Kanada mengenakan hijab dan merujuk pada Islam untuk melawan praktik budaya, seperti perkawinan yang dijodohkan, atau bisa menempuh pendidikan jauh dari rumah tanpa terputus dari akar keluarga dan komunitasnya. Hijab juga berfungsi sebagai sarana mediasi antara budaya minortas muslim dengan budaya setempat. Paradoksnya, masyarakat Barat merespon kaum perempuan muslim dengan menggunakan sudut pandang Orientalis dan kolonialis. Akibatnya, pandangan itu secara efektif membatasi kaum perempuan muslim dalam melawan aturan-aturan mengenai tubuh dan kehidupan mereka.

Pada akhirnya, asumsi bahwa hijab adalah aktivitas statis yang menyimbolkan penindasan sistem patriarki dalam masyarakat muslim amat merugikan para feminis dan ahli ilmu sosial Barat. Dengan tidak tertarik mengkaji dinamika kehidupan kaum perempuan muslim dalam soal hijab, sama saja artinya melanggengkan berkuasanya sistem patriarki di masyarakat muslim maupun masyarakat Barat sendiri.

Di satu sisi, bahwa citra perempuan muslim oriental penting bagi kesetaraan perempuan di Barat, hal itu makin menegaskan betapa perempuan muslim di Barat berbeda dengan perempuan muslim di negara asalnya. Di sisi lain, citra perempuan muslim oriental masih juga digunakan Barat untuk melanggengkan superioritas dan dominasi.

Kebiasaan feminis Barat menggunakan konstruksi rasis dalam urusan hijab, dan ikut serta dalam insiden berbau rasis dalam soal hijab, akan memberi pilihan mendasar bagi kaum perempuan muslim: berjuang melawan rasisme, atau melawan seksisme.

Perempuan Iran telah membuktikan bahwa hijab bukan hanya bagian dari muslim dress code. Pada hijab ada perlawanan terhadap tatanan yang tidak adil. Pada hijab pula, identitas Islam merupakan sesuatu yang bisa dinegosiasikan saat mereka tinggal dalam masyarakat Barat.

Berhijab, secantik, seindah, dan selembut apapun, sejatinya adalah sebuah pilihan hidup yang progresif!

(Disarikan dari artikel Dr Homa Hoodfar: “The Veil in Their Minds and On Our Head: The Persistence of Colonial Image of Muslim Women.”)

Pos terkait