PRIYAYI, SANTRI, DAN ABANGAN

  • Whatsapp
Gambaran orang dari kalangan santri. (Sumber Foto: Istimewa)

Masyarakat plural, yang terbagi ke dalam berbagai kelompok dan mengembangkan peradaban sosialnya masing-masing, merupakan masyarakat yang telah ada sejak lama, dan menjadi basis pembentukan masyarakat Indonesia modern. Masyarakat plural sebagaimana diuraikan oleh J.S. Furnival di era 1930-an itu merupakan tatanan masyarakat yang khas di Asia Tenggara, termasuk di Hindia Belanda. Masyarakat terbelah menurut batas-batas etnis, agama, adat, kewilayahan, dan selanjutnya kelas sosial. Begitulah, aliranisme menjadi model masyarakat kolonial.

Pada era kolonialisme, Belanda membangun masyarakat yang tersegregasi secara resmi dengan memanfaatkan kondisi masyarakat plural yang telah ada sebelumnya. Segregasi sosial berbasis etnisitas, ditambah berkembangnya kecenderungan mengembangkan peradaban sosial pada aneka kelompok masyarakat, meluas menjadi sumber pembentukan aneka jenis golongan dalam masyarakat. Dalam literatur modern, aliranisme sering digunakan untuk menyebut terbentuknya aneka jenis golongan masyarakat di Indonesia itu. Model aliran atau verzuiling (pillarization) banyak dipengaruhi pengalaman Belanda dalam memecah dan menguasai Indonesia sebagai wilayah jajahan.

Desain sosial aliranisme di Indonesia ikut dibentuk oleh model masyarakat terbelah sebagaimana terjadi di Negeri Belanda. Selama lebih dari seabad, masyarakat Belanda terbelah antara golongan nasionalis-liberal yang sekuler, golongan Protestan ortodoks, dan golongan Katolik Roma. Gereja membangun gerakan dengan mendirikan sekolah dan mensponsori gerakan pemuda, aneka serikat dagang yang berdiri dengan mengusung ideologi sendiri, klub-klub olahraga, asosiasi hiburan, perusahaan penerbitan, majalah, surat kabar, bahkan mendirikan stasiun radio dan televisi yang melayani kelompoknya sendiri. Aneka golongan dalam masyarakat Belanda itu mengisolasi para pendukungnya dari pengaruh luar.

Gambaran orang dari kalangan priyayi. (Sumber Foto: Istimewa)
Gambaran orang dari kalangan priyayi. (Sumber Foto: Istimewa)

Aliranisme di Indonesia terbentuk melalui proses yang lama, sebagian berfungsi sebagai bentuk oposisi terhadap pemerintah kolonial, sebagian sebagai penentangan masyarakat yang satu terhadap masyarakat lainnya. Pembelahan sosial antara golongan abangan dan golongan santri di awal abad ke-20 merupakan salah satu contohnya. Hinduisme yang memudar daya tariknya dalam masyarakat terjadi karena kaum priyayi mendapat peluang baru saat berhadapan dengan modernisme Eropa yang dibawa Belanda.

Di sisi lain, gagasan kaum modernis Islam mulai masuk dan mempengaruhi para pedagang di perkotaan. Akibatnya, berdirilah Sarekat Dagang Islam dan organisasi pembaruan Islam Muhammadiyah. Selanjutnya menyusul berdiri Nahdhatul Ulama dari golongan Islam tradisional. Fase selanjutnya muncul gerakan kaum nasionalis sekuler, juga gerakan komunisme. Setelah Indonesia merdeka, golongan politik yang sebelumnya dinyatakan ilegal bersama organisasi keagamaan yang besar dengan cabang dimana-mana berhasil menggerakkan para pengikutnya.

Begitulah, aliranisme berbasis bentuk-bentuk lama integrasi sosial dengan pandangan dunia bersifat khas yang menyertainya. Di Indonesia, aliranisme baru bertransformsi menjadi partai dengan organisasi-organisasi pendukungnya di era 1950-an. Bahkan, Clifford Geertz menegaskan aliranisme dalam masyarakat sepenuhnya membentuk struktur kepartaian di Indonesia pada era 1950-an:

The ‘streams’ (aliran) structured the whole party system of the 1950’s because of deeply rooted specialized associations around political ties that represented specific worldviews and social milieu. Indonesia’s party system appears to have maintained stable cleavages over a long period.”

Geertz mengenalkan konsep bahwa empat partai politik besar hasil Pemilu 1955 sepenuhnya adalah bentuk pengorganisasian aneka aliran dalam masyarakat. Setiap partai memiliki koneksi, baik formal maupun informal, dengan organisasi perempuan, organisasi amal, kelompok pemuda dan pelajar, serikat buruh, organisasi petani, sekolah swasta, masyarakat keagamaan, organisasi veteran, kelompok pengusaha, dan sebagainya, yang bisa dihubungkan dengan sistem sosial hingga di tingkat lokal. Karena alasan semacam itulah menurut Geertz:

“Each party with its aggregation of specialized associations provides a general framework within which a wide range of social activities can be organized, as well as an over all ideological rationale to give those activities point and direction.”

Model masyarakat berbasis aliranisme ini sangat mirip dengan pilar-pilar yang membentuk masyarakat Belanda di era 1950-an dan 1960-an. Pilarisasi menyebabkan saling mengunci antar organisasi dengan kekhususan pengelompokan. Organisasi-organisasi itu memiliki saluran ke berbagai perusahaan dan partai, serta bisa dimobilisasi untuk pemenangan pemilu.

Munculnya Kelas Politik Modern

Geertz dalam Religion of Java membuat tipologi masyarakat berbasis aliranisme yang sangat terkenal. Ketiganya adalah priyayi, santri, dan abangan. Genealogi golongan santri sebagai aliran memiliki akar pada tradisi pesantren, tetapi mengalami pembelahan sosial secara perlahan, melalui waktu lama. Transformasi dari entitas sosial menjadi partai, bagaimanapun, memerlukan pembelahan sosial yang lebih kuat, dan turut dimatangkan oleh peristiwa-peristiwa politik besar.

Gambaran orang dari kalangan abangan. (Sumber Foto: Istimewa)
Gambaran orang dari kalangan abangan. (Sumber Foto: Istimewa)

Alasan lain pembentukan aliran adalah karena tiadanya kejelasan posisi antara kelas politik berhadapan dengan kelas bisnis. Golongan santri, juga golongan priyayi dan abangan, ketiganya mengalami proses “pemburjuisan” (bourgeoning) yang lambat, dan proses itu baru benar-benar terjadi setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Ketiadaan burjuis pribumi yang kuat selepas kemerdekaan, dan kelompok Cina yang dianggap asing dan kapitalis kecil, menjadi penyebab tiadanya pembelahan yang tegas dan dalam posisi berhadap-hadapan.

Di tahun 1950-an, barulah elit pribumi mulai menguasai birokrasi, militer, dan perusahaan negara. Kementerian terbagi dalam penguasaan partai-partai politik. NU dan Muhammadiyah silih berganti menguasai Kementerian Agama, PNI menguasai Kemeterian Dalam Negeri, PKI menguasai Kementerian Pertanian.

Aliranisme tidak hanya turut dibentuk oleh penguasaan birokrasi, tetapi juga oleh pendidikan. Ini pintu gerbang lahirnya elit baru yang tidak lagi hanya mengandalkan kekayaan pemilikan tanah atau kesuksesan berwirausaha. Pendidikan menyediakan peluang membangun karir dan jaringan sekolah-sekolah menjadi basis pembentukan kaum elit nasional.

Jaringan pendidikan inilah yang menjadi dasar rekrutmen kader bagi empat partai besar. Masyumi mengandalkan sekolah-sekolah madrasah yang berorientasi modernisme Islam. Nu mengandalkan pesantren tradisional, PNI mengandalkan sekolah Taman Siswa dan sekolah-sekolah Kristen. Jaringan sekolah-sekolah ikut melahirkan golongan santri menjadi kelas politik, dan selanjutnya melalui proses yang lebih lambat menjadi kelas kapital.

Pembelahan sosial yang bertransformasi menjadi pembelahan politik sangat menandai bagaimana demokrasi bekerja di era 1950-an. Partai-partai politik dengan dorongan ideologis yang kuat mengejar hingga ke titik marjin terluar dalam merebut dukungan masyarakat. Akibatnya, meskipun partai-partai memiliki basis nyata di masyarakat, tetapi sistem kepartaian justeru menjadi rentan, atau mudah runtuh. Akibat persaingan ideologis yang tajam, terjadi fenomena sentripetalisme, atau arus keluar yang melemahkan sistem kepartaian, disebabkan kerjasama antar partai yang sulit dan sering hanya berlangsung singkat.

Sungguh ironis demokrasi multipartai 1950-an. Partai memiliki basis nyata dalam masyarakat, tetapi sistem kepartaian justeru sangat rapuh.

Pos terkait