Bijak Bermedia Digital, Dr. Pitoyo : Jangan Posting Saat Emosi!

  • Whatsapp

Pada masa pendemi Covid-19, ini banyak waktu terluang untuk beraktivitas di media sosial. Berdasarkan hasil survey World Health Organization (WHO), pengguna media digital pada saat covid 19 adalah generasi milenial dan generasi Z yang juga dikenal dengan sebutan Digital Native.

“Generasi ini dicirikan dengan tingkat emosinya masih belum stabil, sehingga ketika dalam kondisi emosi terus membuat narasi baik berupa teks maupun video, tentu akan berpengaruh pada postingannya, dan bisa jadi akan merugikan diri sendiri,” jelas Dr. Pitoyo, SS, M.IKom, Ketua Umum, Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, Selasa, (31/08).

Dr. Pitoyo menyampaikan beberapa cara berkomunikasi di media digital secara bijak, pada acara Webinar, dengan tema Bijak Bermedia Digital, yang diselenggarakan oleh Kominfo, Siber Kreasi, yang menyelenggarakan literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten dan kota di Indonesia. Acara Webinar ini dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, yang berpesan agar kegiatan ini diharapkan dapat diikuti dengan baik, agar masyarakat Indonesia menjadi cakap digital.

Setelah sambutan Presiden RI, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang diikuti oleh peserta Webinar di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, maupun dari daerah lain yang bergabung pada acara ini. Acara ini menghadirkan 4 narasumber, dua narasumber tingkat nasional, Dr. Pitoyo, SS, M.IKom, Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD dan H. Raseno Arya, SE, MM, dan dua narasumber lokal, Abidzar Alghifari Sembiring, S.Sos dan Putra Andica Siagian, ST. CH, serta Key Opinion Leader (KOL) Tya Yustia, dan moderator Ikbal Tanjung.

Keynote Speaker Webinar ini, Gubernur Sumatera Utara H Edy Rahmayadi. Menurut Edy Rahmayadi, webinar literasi digital ini perlu terus diselenggarakan agar masyarakat semakin bijak di media digital dan tidak terombang-ambing oleh kabar bohong (hoax). Selain itu, masyarakat khususnya Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara untuk ikut serta secara aktif acara ini, agar dapat menangkal berita bohong dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan terdekatnya.

Dr Pitoyo, menjelaskan sebelum memposting narasi berupa teks, video, atau gambar dan foto maka perlu dilakukan secara sadar untuk kepentingan orang banyak dan tidak melanggar etika kesopanan. Di saat kondisi diri sedang emosi, tentu akan membahayakan diri sendiri karena bisa dipastikan kondisi emosi akan mempengaruhi pendapat yang diposting di media sosial.

“Akan lebih berbahaya lagi, kalau postingannya itu mengomentari masalah politik atau sosial di lingkungannya. Bisa dipastikan akan menimbulkan polemik berkepanjangan yang tidak produktif, dan merugikan diri yang memposting tersebut,” ungkap Dr. Pitoyo.

Menurut Dr. Pitoyo, berdasarkan hasil survey WHO pada Oktober 2020 hingga Januari 2021, di lima benua, 23.500 responden ini, menyebutkan bahwa 59,1 persen sadar bahwa banyak berita hoax berhamburan di media sosial. Namun 35,1 persen generasi milenial dan Gen Z ini apatis terhadap berita hoax, sehingga sulit diajak untuk memerangi berita hoax tersebut.

Berita bohong (hoax) ini memang secara sengaja disebarkan dengan tujuan untuk menyesatkan pemahaman warganet di dunia maya. Ujung dari penyebaran hoax itu adalah menyulut emosi warga di dunia digital untuk merespon, dan pada umumnya responnya emosi dan negatif.

“Tentu saat emosi mengomentari berita hoax ini sangat bahaya, karena apa yang sudah diposting itu tidak dapat dihapus, atau dikenal dengan sebutan jejak digital, yang akan dibaca semua orang sampai kapan pun,” ujar Dr. Pitoyo.

Lebih berbahaya lagi, lanjut Dr Pitoyo, saat kondisi emosi kemudian memberi komentar postingan yang bersifat politik. Mengapa? Pasalnya politik memiliki beragam perspektif, apa yang diposting dalam satu perspektif tentu akan menimbulkan debat dari teman atau follower di akun media sosial yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Postingan masalah politik inilah yang sering menimbulkan kegaduhan di media sosial, dan ujungnya menjadi debat yang tidak produktif.

“Sebaiknya hati hati dalam berkomentar atau memposting masalah politik. Kalau tidak terlalu paham dan kurang memiliki pijakan referensi sebaiknya hindari posting masalah politik,” pesan Dr. Pitoyo.

WHO menyebutkan hasil surveynya, sebanyak 43,9 persen, unggahan di media digital adalah scientific content, dan disusul dengan 36,7 persen informations relevant themselves, dan sisanya 28,5 informasi yang menjadi perhatian publik. Ini menunjukkan, kata Dr. Pitoyo, bahwa mengunggah informasi ke media sosial beragam disiplin ilmu, sehingga tidak harus tentang politik. Unggahan tentang keilmuan akan banyak menebarkan informasi penting yang bermanfaat untuk publik.

Dr. Pitoyo juga menambahkan bahwa jangan bergabung dengan sembarang teman di media sosial. Pasalnya penghuni media digital memiliki berbagai karakter, ada yang baik, setengah baik, hingga buruk sekali. Ketika orang yang tidak dikenal bergabung di akun media sosial, tentu akan sangat berbahaya. Banyak sekali aksi penipuan dari orang yang tidak dikenal yang mengambil data pribadi pemilik akun untuk kepentingan tindak kriminal.

“Banyak orang berfikir banyak pengikut (follower) atau subscriber akan menguntungkan secara finansial. Hal itu tidak dapat disalahkan, namun bila tidak memiliki manajemen yang baik untuk mengelola komentar dari berbagai pengikut justru akan menghabiskan energi dan merugikan diri sendiri,” tutur Dr. Pitoyo.

H Raseno Arya, SE MM, memaparkan tantangan keamanan digital, diantara proteksi terhadap perangkat digital, perlindungan data pribadi, dan penipuan online. Media sosial memang memberi ruang bebas berpendapat dan bebas untuk share apa saja, namun bahaya besar juga terus mengintai setiap detiknya.

Raseno, yang juga pemerhati pariwisata ini mengatakan pada media digital yang perlu diperhatikan tentang keselamatan anak. Ancaman pada anak ini selalu mengancam diantaranya, bullying, pelecehan seksual dan pronografi, kekerasan yang mana bisa mempengaruhi banyak hal baik berupa tulisan atau gambar.

Abidzar Alghifari Sembiring, S.Sos menambahkan, perlunya memiliki kecerdasan dalam bermedia sosial, karena setiap yang diunggah akan memiliki dampak langsung baik positif maupun negatif. Banyak ditemukan postingan di media sosial yang isinya berupa hoax yang ingin menyesatkan banyak orang di media digital.

“Apalagi kalau yang diposting masalah politik, akan selalu menimbulkan pro-kontra yang tidak jarang merugikan diri sendiri,” ujar Abidzar.

Putra Andica Siagian ST.CH menyatakan dalam bermedia sosial buatlah selalu yang produktif untuk diri sendiri. Daripada memposting sesuatu yang tidak berdampak positif pada diri sendiri mulailah mengunggah materi yang bermafaat bagi diri sendiri dan orang lain di media digital.

“Saya sarankan, agar memposting cara berinvetasi yang baik. Misalnya mengajak berinvetasi yang baik dan bijak, dengan inevstasi berupa emas atau investasi saham. Hal ini tentu mengajak banyak orang untuk tidak konsumtif, dan lebih produktif, selain itu postingan kita bermanfaat bagi banyak orang,” kata Putra Andica Siagian.

Presentasi terakhir oleh Key Opinion Leader (KOL) Tya Yustia menegaskan tentang perlunya bermedia sosial yang bijak dengan lebih menekankan pada perlunya memahami etika digital. Banyak orang yang terpancing untuk berkomentar yang terkadang meninggalkan etika kesopanan, sehingga menyerang privasi dan harga diri orang lain dalam unggahannya.

Pos terkait