CULTURAL STUDIES AND “RADICAL CONSUMERS OF MEDIA”

  • Whatsapp

Kajian budaya, konon, ikut “meradikalisasi” studi tentang jurnalisme. Ini sesuatu yang menarik. Darimana pokok soal ini bisa diurut? Jawabnya: ada banyak faktor yang menjelaskan.

To be simple, ikhwalnya bisa ditelusuri dari faktor ini saja dulu. Ia terkait dengan transformasi yang terjadi pada produksi konten media. Riset-riset mutakhir, yang dikembangkan dalam memproduksi konten media, perlahan tetapi pasti mengalami perubahan menarik.

Pertama:

The research has tended to move toward higher levels of analysis – that is, from individual roles to organizational processes and from separate organizations to entire industries”

Ini temuan menarik. Riset banyak bergerak dengan menggunakan tingkat analisis yang lebih tinggi. Riset tidak lagi berbasis individual, tetapi meningkat lebih tinggi, bersifat organisasional. Dari melayani organisasi tertentu berubah menjadi industri besar. Ini semua membuat riset-riset sangat mempengaruhi bagaimana konten media ikut dibentuk.

Kedua:

The research has embraced more diverse theoretical perspectives as it has moved to higher levels of analysis”

Riset terkait produksi konten media, sejalan dengan naiknya tingkat analisis, kini melibatkan perspektif teori yang sangat beragam. Ini membawa konsekuensi menarik. Bermacam basis teori dioperasikan, lantas konten media pun ikut beragam. Masing-masing dibentuk menurut kepentingan tertentu, dan pada dasarnya konten media cenderung hanya menyasar audiens tertentu pula.

Ketiga:

The research has included a wider range of roles, organizations and industries under the rubric of “professional mass communicators”

Riset terkait konten media meluas dengan melibatkan berbagai organisasi dan industri media, yang kesemuanya disebut sebagai para profesional di bidang komunikasi massa. Ini perkembangan yang baru, dan menjadi menarik karena melalui peranan riset, konten media, juga sajiannya, benar-benar berbeda dengan praktik-praktik produksi sebelumnya.

Konten media menjadi industri, dan audiens diperlakukan sebagai market, konsumen, atau sebut saja, segmented market or segmented consumers. 

Tabel gambar 1
Tabel gambar 1

Meningkatnya level analisis terhadap produksi konten media menghasilkan TIGA LEVEL ANALISIS, yang dikenal dengan sebutan individual level, organizational level dan institutional level. Konten media, karena itu, memerlukan basis knowledge yang memadai (adequate), untuk bisa diuraikan, dikontekstulisasi, dan akhirnya dipahami dengan tepat aneka pesan yang disampaikannya.

MENGAPA CULTURAL STUDIES MENJADI PENTING?

Disebabkan oleh status ilmiahnya yang banyak dibentuk oleh ilmu budaya, teori kritis, kajian media, dan analisis diskursus, ilmu Kajian Budaya memberi pengetahuan baru dalam berurusan dengan media.

Melalui Kajian Budaya, para pengonsumsi media dibekali kecakapan untuk memahami bagaimana konten media diproduksi. Beberapa yang terpenting diantaranya adalah penjelasan tentang relasi kuasa (power relation), dekonstruksi makna, kebebasan dalam memaknai dan menafsirkan ulang konten media, serta yang tak kalah menarik, mengutip teori encoding/decoding-nya Stuart Hall, menyadarkan para audiens bahwa setiap konten pada dasarnya dibentuk oleh sistem nilai, kepentingan, ideologi atau juga pandangan dunia tertentu. Pemahaman atas konten perlu dibarengi dengan pemahaman atas hal-hal macam itu.

Sisi baru yang distinktif dari sumbangan ilmu Kajian Budaya adalah kemampuannya menghadirkan dimensi baru dalam studi media. Jurnalisme sebagai ranah, misalnya, tidak lagi didekati hanya dari sisi kajian jurnalisme sebagaimana umumnya. Jurnalisme kini bisa didekati dari sisi Kajian Budaya. Jika produksi konten media melalui jurnalisme menekankan pada dimensi institusi jurnalisme sebagai aktor, pada Kajian Budaya, jurnalisme didekati dari titik berbeda. Jurnalisme didekati dari sisi para pengonsumsi media yang telah siap, atau melengkapi dirinya, dengan “disain pemahaman” atas seluk beluk produksi konten media.

At the end, para pengonsumsi media ini, bisa hadir dengan sejenis “radikalisme budaya”, sebuah frase yang menegaskan bahwa mereka tidak lagi bersifat pasif dan menerima begitu saja seluruh konten media:

The culture of media finally meets the radical consumers of media.”

Hanya saja, dengan hitung-hitungan ini, pertanyaan penting lainnya adalah, seberapa banyak para pengonsumsi media yang cerdas dan radikal secara budaya tersedia dalam masyarakat kita? Dan jikapun ada, apakah mereka sanggup mengorganisir diri menjadi semacam “asosiasi para pembaca cerdas dan independen”?

Dari titik inilah tahapan selanjutnya dalam berurusan dengan konten media berpeluang dibangun.

Pos terkait