DEMOKRASI PASCA 1998 DAN EMOH ALIRANISME

  • Whatsapp
Mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR pada aksi Demontrasi 1998. (Sumber Foto : Istimewa)

Demokrasi pasca-1998 menunjukkan redupnya aliranisme. Ideologi menurun peranannya dalam membentuk basis partai. Ikatan masyarakat dengan partai melemah, partai menjadi kendaraan elit, kartelisasi politik menguat, politik uang merebak, media berperan besar membentuk persepsi publik, elit lokal dari penguasa lama mengambilalih kepemimpinan partai pada tingkat lokal. Jaringan partai dibentuk melalui populisme, klientalisme, patronase, jaringan sosial, dan penyatuan organisasi. Pembentukan basis partai juga dipengaruhi munculnya fenomena personalisasi politik, peranan para political entrepreneur, dan munculnya fenomena philippinisasi atau bossism di tubuh partai.

Pemerintahan Orde Baru memberi warna kuat terhadap meredupnya aliranisme. Negara hadir menyatukan semua perbedaan, dan Pancasila diharuskan menjadi asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada wilayah politik, konsekuensinya jelas. Partai-partai difusikan, dan Golongan Karya menjadi kekuatan politik serta menjadi peserta pemilu. Salah satu warisan terpenting Orde Baru adalah memperkuat kehadiran partai tengah, serta menghacurkan model political cleavage yang terbentuk menurut model demokrasi 1950-an.

Golongan Karya memainkan fungsi partai tengah sepanjang Orde Baru berkuasa. Partai tengah memberi ruang bagi merapatnya kelompok dengan aneka ideologi yang berbeda. Militer Indonesia turut berpolitik melalui Golkar, dan partai ruang geraknya dibatasi. Baru setelah Orde Baru runtuh di tahun 1998, demokrasi tumbuh kembali.

Demokrasi pasca-1998 menandai fase penting bangkitnya kembali demokrasi di Indonesia. Runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru membuka peluang hadirnya kembali kekuatan-kekuatan demokrasi dalam masyarakat. Harapan besar demokrasi mengalami musim semi di Indonesia mungkin terlalu tinggi. Transisi demokrasi di Indonesia ternyata memunculkan sejumlah persoalan besar. Terjadilah democratic vacuum yang menandai transisi demokrasi di Indonesia.

Ketiadaan prakondisi demokrasi yang kuat memunculkan democratic vacuum dan para elit mereaksi keadaan menurut pertimbangan taktis. Demokrasi di Indonesia berlangsung tanpa prakondisi yang bagus, para elit menciptakan tatanan demokratis berdasarkan kesepakatan elitis, dan Indonesia lahir menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia melalui proses yang sangat lamban, selain landasannya mudah goyah.

Para elit sebagai aktor utama berusaha mempolitisasi isu-isu pokok mengenai bagaimana seharusnya demokrasi dibentuk, sekaligus pada saat yang sama merancang strategi penggalangan massa melalui partai politik. Populisme dan klientalisme menjadi modus pembentukan basis partai, juga mobilisasi massa. Secara umum pembentukan basis partai dilakukan melalui populisme, klientalisme, patronase, jaringan sosial, dan penyatuan organisasi.

De-aliranisasi terjadi ditandai dengan arus de-Golkarisasi yang berujung lahirnya partai-partai baru pecahan Golkar. Bagian yang menarik terjadi pada kelas menengah yang mengalami frustrasi politik karena partai-partai baru tidak memberi alternatif bagi mereka untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasi politik yang disuarakan semasa reformasi 1998.

Sayangnya, tidak terjadi pemutusan total dengan masa lalu pada demokrasi pasca-1998. Kekuatan oligarkis lama memanfaatkan pemilu era reformasi menjadi ajang balik kembali merengkuh kekuasaan. Mantan birokrat, pengusaha, dan militer turut bermain dalam politik elektoral dan mampu mengalahkan para aktivis dan kekuatan pro-demokrasi. Keengganan partai mendukung calon dari partai lain dan lebih memprioritaskan calon netral memperkuat politico-oligarchy elites yang berkemauan kuat mengontrol pemerintahan lokal. Bersama itu pula terjadi deideologisasi, ditandai praktik pembelian pencalonan dari partai politik untuk menduduki kursi di dewan perwakilan maupun untuk merebut jabatan eksekutif di tingkat lokal.

Pemilu 2004 menandai tahap kulminasi dari transisi demokrasi di Indonesia. Diwarnai munculnya gejala atomisasi para pemilih, afiliasi politik yang cair, peranan politikus profesional yang meningkat, tampilnya tehnik kampanye modern dan munculnya kekuatan uang dalam politik. Para elit mendominasi agenda politik, dan pembentukan basis sosial partai terbelah menurut garis ketokohan partai yang ditampilkan para elit.

Sisi menariknya, arus untuk menarik kembali Indonesia ke era otoriterisme oleh elit lama melalui jalan demokrasi tidak berhasil. Fragmentasi dan koalisi berjalan beriringan. Fragmentasi ditandai perpecahan di internal partai, sedangkan koalisi menandai kerjasama antar partai. Terkait pembentukan basis sosial partai, muncul communal voting. Ini menandai pergeseran perilaku para pemilih dari sikap primordialistik menjadi pemilih rasional. Pengaruh pergeseran perilaku pemilih ini ikut menentukan perubahan besar kecilnya basis dukungan partai. Di titik inilah dealiranisasi terjadi.

Di sisi lain, dealiranisasi langsung berkaitan dengan ketiadaan ideologi partai. Tidak ada partai yang memiliki posisi ideologis kuat, dan mampu memberikan jawaban tuntas terhadap aneka persoalan politik dan ekonomi. Semestinya, dengan ideologi yang kuat, partai bisa mengesampingkan kompetisi internal karena memiliki kesamaan pijakan.

Dealiranisasi juga bisa dikaitkan dengan hilangnya pemosisian berdasarkan makin tidak jelasnya cleavage structure. Jika sebelumnya masih ada pemosisian antara reformis vs status quo, Islam vs sekuler, atau antara berbagai penafsiran berbeda dari aneka kelompok Islam tentang politik, hal semacam itu makin meredup. Jarak ideologis bukan lagi faktor yang menentukan polarisasi kompetisi pada partai-partai politik di Indonesia.

Perhatian khusus juga diberikan pada persoalan collusive democracy vs delegative democracy. Kartelisasi partai politik pun muncul ditandai dengan upaya para pemimpin partai membangun kerjasama dan meng-kooptasi semua kepentingan partai memberi wujud nyata demokrasi kolusif. Akibatnya, sistem politik tampaknya stabil, tetapi sebenarnya muncul problema serius terkait representasi dalam politik. Partai-partai yang berkolusi lebih dekat dengan negara dan menggunakan resources negara untuk kepentingan partai-partai yang berkolusi itu. Tidak ada lagi karakter partai yang orisinil dalam pola kartelisasi, dan para pemilih pun tak sanggup dengan mudah menghukum partai-partai itu karena mereka tidak memiliki alternatif partai lain untuk dipilih.

Pileg dan Pilpres 2009 menarik digunakan untuk melihat beberapa hal penting, terutama terkait dengan perilaku pemilih. Salah satu temuan terpenting dar Pemilu 2009 dalam survey yang mereka lakukan adalah adanya perubahan besar perilaku pemilih. Faktor cleavage baik menurut garis etnis, agama, regionalitas, dan kelas sosial ternyata berpengaruh kecil terhadap para pemilih. Para pemilih meningkat menjadi pemilih rasional, dengan menerapkan standar khusus dalam memilih, menentukan sendiri tujuan memilih, dan memilih pemimpin yang sejalan dengan standar dan tujuan yang ditetapkannya sendiri. Tingkat kepercayaan menurun terhadap partai, dibarengi naiknya tingkat kepercayaan pada individu pada kasus Pilpres 2009.

Sejumlah survei juga mengonfirmasi tidak ditemukannya arus politik aliran yang masih kuat, meskipun kecenderungannya tetap ada. Masalah kinerja perekonmomian nasional memberi pengaruh nyata kepada perilaku pemilih. Sikap para pemilih sangat optional terkait program perekonomian yang diusung partai maupun kandidat presiden. Temuan survei ini sekaligus memberi penjelasan bahwa faktor cleavage sebagaimana bekerja pada politik aliran makin menurun, termasuk dalam membentuk basis dukungan partai. Para pemilih menjadi rasional ketika institusi partai melemah dan sistem kepartaian tidak menampilkan performa yang bagus dalam demokrasi pasca-1998.

Pos terkait