Orang – Orang Berkopiah Hitam, Mewujudkan Indonesia Melalui Perbuatan

  • Whatsapp

Tiap kali melihat foto ini, orang-orang Indonesia dengan kopiah hitam, tiap kali pula seperti menjumpai makna tentang Indonesia. Memberi identitas kepada banyak orang dalam satu penamaan tunggal, yaitu orang Indonesia, tentu tidak mudah.

Bung Karno, misalnya, mempermudah dengan mengenalkan istilah Marhaen. Hebatnya, Marhaen sebagai sebuah nama mampu ditransformasi menjadi konsep sosiologi maupun konsep politik. Tokoh yang lain mungkin juga menawarkan nama. Ada yang sempat mampir, ada yang juga yang tak sempat mampir mewarnai kosakata sejarah bangsa Indonesia.

Penamaan kerap terkait dengan proses pemberian identitas, baik identitas personal, identitas komunal, maupun identitas publik. Yang tak kalah menarik adalah menelusuri kaitan antara pemberian identitas dengan proses sejarah yang sesungguhnya. How to is the history in the making. Dengan kata lain, menelusuri bagaimana sebuah identitas dibentuk, lalu di ujungnya menciptakan keindonesiaan.

Ikhwal ini bisa bermula dari gotong royong. Tak sulit dipahami jika gotong royong menjadi konsekuensi logis dalam menjelaskan bagaimana sejarah bekerja membentuk keindonesiaan. Tetapi kerap pula dimunculkan pertanyaan: bukankah gotong royong mendapatkan wilayah hidupnya pada masyarakat yang model pembagian kerjanya masih sederhana.

Orang juga akan bertanya, bukankah gotong royong lebih hidup dalam situasi yang bersifat paguyuban atau patembayan (gemeinschaft). Atau, bukankah gotong royong berlangsung di lingkungan individu atau kelompok yang memiliki ikatan kuat. Sesuatu yang terbentuk karena pertalian darah, kesukuan, ideologi, atau kesamaan daerah asal.

Lalu, bagaimana gotong royong terbentuk pada masyarakat dengan jalinan civil society yang kuat dan memiliki keanekaragaman pembagian kerja yang berkembang (Gesellschaft). Pada masyarakat yang mengatur hubungannya secara formal, mengutamakan berbagi kepentingan jangka pendek, dan sangat berorientasi keuntungan ekonomi secara personal, masih bisakah gotong royong terjadi secara alamiah?

Tentu saja, orang Indonesia hari ini berbeda dengan orang Indonesia di era 1950-an. Pengalaman meng-Indonesia hari ini juga jauh lebih kaya, lebih kompleks, dan lebih menantang. Apalagi jika itu semua dikaitkan dengan kebutuhan membangun masyarakat yang rukun, bahagia, sentosa melalui “gotong royong as praxis”. Atau, meniru ucapan salah seorang intelektual kita, “mewujudkan Pancasila dalam perbuatan”.

Praxis, praxeology, atau “menemukan kebenaran melalui praktik nyata secara langsung” adalah instrumen terbaik memahami fakta penting ini. Mengapa tiap masa masyarakat kita mampu menampilkan “wajah keindonesiaan” yang kaya warna dan cerita.

Ilmu sosiologi modern menawarkan banyak konsep untuk menjelaskan. Relatif paling baru adalah tentang modal sosial. Ada banyak penjelasan tentang bagaimana modal sosial bekerja. Kutipan pemikiran Robert D. Putnam bisa digunakan untuk membantu:

“Community connectedness is not just about warm fuzzy tales of civic triumph. In measurable and documented ways, social capital makes an enormous difference in our life. Social capital makes us smarter, healthier, safer, richer and better able to govern a just and stable democracy”

(Keterhubungan komunitas bukan hanya cerita tentang kemenangan masyarakat kewargaan. Dengan cara-cara pengukuran yang telah didokumentasikan, modal sosial menghasilkan banyak hal yang berbeda dalam kehidupan kita. Modal sosial membuat kita makin cerdas, lebih sehat, lebih aman, lebih kaya dan sanggup menjalankan demokrasi yang lebih adil dan lebih stabil)

Mampukah kultur gotong royong memberi kondisi terbaik untuk membangun dan mengembangkan modal sosial yang kita miliki?

Apakah kehidupan modern membuat kita makin terkoneksi, ataukah terkoneksi hanya karena dipermudah oleh teknologi?

Apakah kita hanya “being connected but never intermingled”, kita hanya terkoneksi tapi tak pernah membaur?

Dari sudut pandang modal sosial, bisa dikatakan, yang abadi dalam membangun keindonesiaan adalah pertukaran dan keterhubungan. Bukan identitas yang tak ternegosiasikan. Wajah gotong royong pun, di alam demokrasi modern, juga ditentukan oleh kepastian adanya pertukaran dan keterhubungan.

Foto jadul di tahun 1950-an itu mungkin memiliki tafsir unik tentang bagaimana modal sosial memberi bentuk kepada gotong royong. Kita bisa menduganya dari titik ini: Kaum Marhaen sebenarnya adalah konsepsi yang diciptakan untuk mengatakan bahwa orang-orang kecil, atau orang kromo, ada di semua struktur sosial masyarakat kita. Mereka mewujud bersama melalui beragam ikatan sosial, baik yang terjadi melalui ikatan agama, etnis, ras, kelas sosial, ideologi maupun regionalisme atau kewilayahan.

Pada akhirnya, tiap kali melihat foto orang-orang berkopiah hitam di tahun 1950-an itu, kita sampai pada kesimpulan ini. Kecerdasan sosial di era 1950-an mungkin banyak dibantu oleh cara berpikir kalangan elit. Demikian pula identitas keindonesiaan yang kelahirannya dibidani kaum elit. Tetapi hari ini, di alam demokrasi, ditopang kemajuan teknologi informasi, mungkin bisa dikatakan, kecerdasan sosial hampir sepenuhnya merupakan produk masyarakat kita. Kecerdasan sosial ini pula yang membentuk makna keindonesiaan kita hari ini.

Kitapun akhirnya akan dengan mudah dan terang mengatakan keindonesiaan di era 1950-an punya wajah berbeda dengan hari ini. Tentu tidak sepenuhnya keliru pendapat itu. hanya saja, jika ingin dikatakan dengan benar, keindonesiaan adalah entitas yang terus berkembang dan menyempurnakan dirinya sendiri. Keindonesiaan adalah hasil kerja bersama kita semua. Menjadi orang Indonesia adalah menjalani kerja besar secara bersama. Ujung dari kerja besar itu adalah hidup bersama, rukun, bersatu dan bahagia.

Foto orang-orang berkopiah hitam itu sungguh luar biasa. Mereka ingin mewujudkan mimpi besar: mewujudkan Indonesia rukun, makmur dan bahagia melalui perbuatan!

Pos terkait