POST-MODERNISM: Dari Cerdas Berproduksi Menjadi Cerdas Mengonsumsi

  • Whatsapp

Orang postmodernist meneguhkan pandangan fundamental ini: Ada ideologi yang bekerja dalam jaman kemajuan teknologi yang membanjirkan informasi saat ini.

Mengutip pendapat sosok postmodernist radikal macam Zygmunt Bauman, misalnya, ada standpoint yang bisa dikatakan baru. Ia berangkat dari kritik bahwa jaman dimana produksi menempati titik pemaknaan terpenting dalam kehidupan kelas menengah dan kelas pekerja telah bergeser. Produksi telah mampu beroperasi secara mandiri, mengalami otomatisasi, dan perlahan menggantikan tenaga manusia. Konsekuensinya, kini bukan lagi produksi yang paling penting, tetapi konsumsi. Budaya produksi perlahan bergeser ke budaya konsumsi.

Working culture is no more the only one point of departure in human civilization. It is consumption which is coming forth for now. Thus, what postmodern means? It is nothing but a matter of consumption. Culture is consumer cooperative.

Pergeseran dari produksi ke konsumsi, dalam pandangan Bauman, membuat budaya mengemuka dalam bentuk consumer cooperative, mengemuka dalam bentuk kerja bareng-bareng melibatkan banyak orang dari lintas budaya, agama, ideologi, kelas sosial, etnis, ras, gender, dan bahkan keyakinan politik untuk bersama-sama menikmati semua produk budaya. Cultural goods di sini maknanya adalah semua produk karya manusia, material, teknologis, maupun spiritual.

Zygmunt Bauman, Ahli Sosiologi Post-Modernisme

Radical in consumption” ini memang tidak memerlukan akar filsafat tertentu. It is purely non-foundational in philosophical standpoit. Caranya juga tidak rumit. Just consume or taking part in mass consumption.

Apakah semua orang bisa masuk ke dalam wilayah “radical in consumption” rasanya tidak sesederhana itu. Modus produksi bisa saja mengalami otomatisasi melalui kemajuan mesin, tapi modus menjadikan manusia sebagai pengonsumsi radikal atas semua produk yang hadirnya dimudahkan oleh mesin juga ada sisi naifnya.

Tantangan buat kaum kelas pekerja maupun kelas menengah dengan platform baru di tengah beragam media baru saat ini: “Mampukah mereka radikal dari sisi produksi sekaligus radikal dari sisi konsumsi?”

Produksi dalam hal ini adalah terkait dengan producing culture, memproduksi budaya, yang sumbernya adalah kekayaan batin dan pengalaman di wilayah basis materialistiknya, dan mengemas serta menghadirkannya di tengah publik. Konsumsi, di sisi lain, adalah kemampuan bukan hanya dalam hal menikmati dan/atau mengambil semua sajian produk budaya sebagai semata-mata memenuhi hasrat akan pemenuhan kepuasan material. Konsumsi memiliki dimensi radikal in a sense that it transforms to the higher level of consumption, that is concerning with the activity in production of new ideas. Radical consumption, then, has a different meaning, that is producing criticism.

Bagaimanapun, ada dimensi unik dalam masyarakat kita yang memerlukan pendekatan berbeda, tidak semata dalam hal kemampuan produksi dan konsumsi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu adalah terkait dengan etika produksi dan etika konsumsi. Dua jenis etika itu sepertinya bisa dihidupkan dan digerakkan oleh orang-orang yang bekerja dalam dunia media. Jika tidak, maka budaya akan sepenuhnya jatuh menjadi sekadar consumer cooperative semata. Budaya semacam itu gagal mentransformasi kita naik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu menjadikan kita “makhluk yang sanggup bersikap cerdas dan kritis dalam mengonsumsi aneka produk budaya.”

Begitulah, pada akhirnya cerdas mengonsumsi harus hadir bersamaan dengan bahagia mengonsumsi.

Pos terkait