Produksi dan Bahagia

  • Whatsapp
simbok melayani sarapan pagi para pelanggannya, perempuan yang tengah menenun, serta tukang jual rujak dengan dagangan rujaknya. (Sumber foto : Istimewa)

Darimana Datangnya Produksi dan Bahagia?

Itu pertanyaan dekil. Lahir dari proyek besar ingin mendefinisikan dunia. Tapi tak jarang gagal. Lalu, hanya tersisa sebagai warisan intelektual berupa catatan kaki. Dan hidup tetap seperti biasa: luput dari kemampuan manusia mendefinisikannya.

Ikhwalnya adalah Asia. Ada kisah kehidupan. Ada masyarakat yang berproduksi. Lalu hubungan-hubungan sosial tidak serta merta meningkatkan teknik produksi. Tapi bahagia tetap ada. Stagnasi dalam produksi tak berarti mundur dalam tradisi gotong royong.

Jadi yang mana yang lebih kuat menopang kehidupan bersama: Melipatgandakan produksi apa gotong royong? Makmur berkelimpahan materi apa ayem tentrem berbagi kemelaratan?

Ingin tahu potret masyarakat Asia macam itu? Lukisan Rustamaji tentang bakar jagung, juga lukisan yang lain tentang cangkruk alias nongkrong di warung, simbok melayani sarapan pagi para pelanggannya, perempuan yang tengah menenun, serta tukang jual rujak dengan dagangan rujaknya, sekilas bisa menjadi representasi.

Orang-orang Eropa suka membuat “definisi situasi” sebelum consuming hingga akhirnya exploiting the situation. Orang Asia pintar menghayati situasi dan mampu bersikap “bening” dalam terang pekatnya situasi. Jadi wajar jika keduanya bisa demikian tampak beda dalam urusan berproduksi, atau membuat moda produksi.

Orang-orang Marxis, demi kepentingan pengembangan teori tentang masyarakat, memberi garis bawah pada urusan “mode of production.” Tapi mereka meleset dalam usahanya menjelaskan urusan moda produksi pada masyarakat Asia di abad ke-19.

Mereka membikin terma khusus, tak kurang Marx sendiri yang mengenalkannya, bertajuk “Asiatic Mode of Production.” Di belakangnya ada proyeksi besar. Bagaimana merancang strategi revolusi yang pas buat bangsa Asia, yang tampaknya telah patah-kalah-pasrah menghadapi hasrat bangsa Eropa berkuasa dan mengeruk kekayaan tanpa batas melalui kapitalisme dan imperialisme. Strategi macam itu perlu karena Asia dianggap benua yang sarat dengan penguasa despotik serta mengalami kemandegan sosial ekonomi.

Proyeksi besar itu di abad ke-19 mungkin kalis oleh realitas, losing contact with reality. Tak mudah menemukan metode membuat hubungan-hubungan sosial yang harmonis dirubah menjadi hubungan penuh konflik. Lebih khusus lagi, di Asia hubungan-hubungan sosial dalam produksi dilakukan dengan menerima secara “ikhlas” peranan dan kedudukan satu sama lain dalam masyarakat, apa ya bisa diputus dengan iming-iming “makmur bersama.”

Seperti apa sih konstruksi moda produksi masyarakat Asia, yang tetap mampu hidup bahagia di tengah kemandegan teknik produksi itu? Definisi Marx tentang moda produksi Asia menyertakan di dalamnya ketiadaan kepemilikan pribadi atas tanah, aneka masyarakat kampung yang otonom, dan negara terpusat yang despotik memimpin pekerjaan umum, sebagian besar lewat paksaan dan kontrol Angkatan Bersenjata,

serta surplus ekonomi dari masyarakat lokal dalam bentuk persembahan dan kerja kolektif. Sekali waktu surplus itu diambil, masyarakat lokal relatif tetap mandiri dengan mengandalkan perekonomian yang bersifat memenuhi keperluan sendiri.

(“Marx’s definition of the Asiatic mode of production included the absence of private ownership of land, autonomous village communities, and a despotic centralized state in charge of public works, especially irrigation. To finance public infrastructure, the state extracts, mainly through coercion and the control of the armed forces, an economic surplus produced by local communities in the form of tributes and collective work. Once surplus is extracted, village communities remain relatively independent within their “self-sustaining” economies.”)

Jauh hari kemudian, malah banyak yang gamang jika definisi macam itu diterapkan sebagai pandangan resmi. Meski begitu, tetap ada yang ingin memperluas konsep moda produksi Asia ke semua masyarakat pra-kapitalis, atau masyarakat terbelakang di Asia dan Afrika. Tapi makin banyak yang mengkritiknya, dan perlahan pemikiran itu ditinggalkan dari corpus of marxist text.

Mengapa Ditinggalkan?

Pertama, karena dianggap tidak benar-benar ngomongin moda produksi. Tapi lebih ngomong soal peranan negara dalam produksi tinimbang tentang hubungan-hubungan sosial dalam produksi. Kedua, terlalu sederhana untuk menjelaskan perkembangan masyarakat yang makin kompleks. Ketiga, terlalu menggeneralisir soal perkembangan masyarakat, karena kenyataannya perkembangan sosial terjadi dalam banyak bentuk.

Lantas, siapa sih sebenarnya yang pantas disebut sebagai kelas ekonomi? Apakah dalam masyarakat Asia yang harmonis, kelas ekonomi baru dapat ditumbuhkan tanpa dipercepat dengan metode konflik sosial?

Jawabannya ternyata “canggih” juga. Sederhananya, kelas ekonomi (the economic class) itu adalah kumpulan dari orang-orang yang secara aktual berada dalam hubungan-hubungan ekonomi. Mereka melakukan produksi dan konsumsi dalam situasi sosial yang sama. Mereka melakukannya bisa sebagai refleksi dari kesadaran memperkuat kedudukan ekonomi, tetapi bisa juga melakukannya sebagai respon terhadap tekanan situasi yang dialami bersama.

Dengan definisi itu, tukang bakar jagung dan langganannya bisa masuk kelas ekonomi, betapapun tidak canggihnya teknik produksi bakar jagung. Demikian pula dengan simbok penjual sego liwet dengan gudegnya yang gurih dan para pelanggannya, juga penjual rujak cingur dan pembeli yang jadi pelanggannya.

Sampai pada titik ini, hubungan sosial dalam bentuk pengalaman-pengalaman konkrit ikut mengguratkan bagaimana ideologi terbentuk dalam kelompok-kelompok sosial. Situasi sejarah yang konkrit itulah yang turut membentuknya, khususnya membentuk moda produksi di dalamnya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa proyeksi ideologis yang dipasok dari eksternal bisa saja gagal memahami situasi macam itu.

Hari ini, ketika bangsa-bangsa Asia telah bereksperimen dengan aneka model membangunan, dan masyarakat mengalami transformasi besar-besaran di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial budaya, apa yang bisa dipetik dari “Asiatic Mode of Production?”

Jawabannya ada di tiga lokus penting: teknik produksi, pola konsumsi, dan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya, yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial yang berakar dalam masyarakat Asia.

Marx bisa saja mengatakan bahwa sosialisme akan mencapai tahap sempurna di tempat dimana kapitalisme mengalami tahap perkembangan paling maju. Tetapi pada masyarakat Asia, justeru nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat yang mampu menopang perkembangan produksi, konsumsi, dan hubungan-hubungan sosial. Nilai-nilai itupun demikian beragam, termasuk nilai-nilai agama.

Jadi wajar saja jika melalui produksi ada “banyak jalan menuju bahagia.” Bukankah kerja adalah sesuatu yang universal dan membebaskan manusia? Tentu saja ya, dan kebebasan dalam arti itu adalah kebebasan dalam memilih bentuk-bentuk produksi, juga organisasi produksi, juga distribusi, dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial melalui penguatan hubungan antara konsumen dengan produsen, antara penjual dan pelanggannya.

Tiba-tiba jadi ingat kata-kata Ludwig von Mises: entrepreneur adalah jenis manusia baru yang merdeka, lepas dari serfdom (perbudakan), dan mampu mengembangkan etik yang menentukan bentuk tindakan manusia (human action) melalui ekonomi.

Di akhir tulisan ini saya kok malah pingin buka warung yak!

‘Warung Bahagia” ….

Pos terkait