RAPAT RAPAT TERUS

  • Whatsapp

Mungkin ada yang masih ingat iklan ini, dengan percakapannya yang seperti ini:

“Ma, papa harus rapat lagi”

“Kan baru sampai rumah pa”

“Iya, tapi harus rapat lagi ma”

“Papa ini! maunya rapat rapat rapat terus”

Setelah itu muncul voice over, muncul suara dari “langit”:

“Agar keluarga tetap harmonis, minumlah rapet wangi”

Tiap kali sekadar mengingat iklan ini, setelah closing, mengutip pendapat seorang pembuat iklan, ada sesuatu yang tidak tuntas. Terasa seperti cara menyalip di lintasan pembicaraan yang berbeda:

“Terus apa hubungannya antara rapat dengan rapet?”

To tell you frankly, that’s the point the business goes my friend. Kata kawan ini.

Kritik dalam budaya populer terhadap produksi iklan lumayan berkembang. Setidaknya, dari masa ke masa, iklan mencerminkan hubungan antara hal-hal yang lazim terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tentang konsumsi, gaya hidup, citra, dan daya tarik material saat menampilkan kehidupan, concerning the business of performing life.

Salah satu iklan jadul tentang sabun.

Salah satu kritik terhadap gaya beriklan di waktu lalu banyak dikaitkan pada titik ini. Kebanyakan, iklan dibikin hanya mencerminkan “mentalitas produksi”. Targetnya jelas. “Lu beli deh itu barang”. In short, itu iklan sekadar seperti narasi plus visual seperlunya, lalu digunakan untuk melempar barang ke pasar. Segera tampak, visi produksi macam itu dianggap hanya memperluas ketidakadilan sosial yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat. Tidak tampak kepastian menyangkut keamanan saat produk iklan dikonsumsi. Atau, jika dibuat abstraksi dengan menggunakan cara berpikir Gramsci, para pengiklan berada dalam posisi memperluas cakupan hegemoni terhadap kelompok konsumen yang tidak berdaya, yang tak punya banyak pilihan kecuali mengonsumsi produk yang ditawarkan.

Produksi iklan terus berkembang, bukan hanya karena alasan iklan makin penting mendukung penjualan produk, tetapi juga untuk mengiringi bertumbuhnya stock of knowledge masyarakat. Salah seorang ahli kajian budaya populer memiliki pendapat seperti ini:

The professional status of advertisers depends on claims to their special knowledge of a cultural rather than a commercial event: the impact of representations on desires and decisions”

Keren itu pendapat.

Mengusung pengetahuan khusus jauh lebih penting dari sekadar memanggungkan event komersial. Representasi sangat penting, karena mempengaruhi hasrat dan keputusan mengonsumsi.

Output, keahlian, dan hubungannya dengan aneka instiusi sosial, terus berkembang dalam produksi iklan.

Why in production of advertisement social institution matters?

Pertanyaan ini bisa memerlukan jawaban yang bertingkat-tingkat. Tapi kita ambil yang asyik-asyik saja. Setiap orang sebenarnya tied to social institution, terikat kepada institusi sosial. Ia berinteraksi dengan bentuk dan jenis interaksi yang dibenarkan dan dilembagakan dalam institusi sosial. Ia mungkin malah berinteraksi hanya di lingkungan kelas sosialnya, atau katakanlah, pada bentangan stratifikasi sosialnya. Singkatnya, individuality is socially constructed, eventhough it is relative to certain culture.

Iklan Ibu Singer dulu strongly tattoed on peoples’ mind karena pintar sekali “menumpangkan” representasi. Menjahit di rumah, meski tak hanya dominasi perempuan, sangat menggambarkan culture yang umum dalam masyarakat kita. Bukankah jika terdengar mesin jahit bunyi di rumah, sebagian orang bisa saja berkata, “Emak lu lagi njahit yak”.

Tapi ada juga yang “radically constructed through br passing culture. Gadis remaja, namanya terkenal, mengenakan rok mini, pakek sepatu booty pulak!

Oh la la…

Di masyarakat yang masih akrab dengan pakaian tradisional, modus seperti itu bisa seperti melahirkan “rupture” atau patahan budaya. La wong terasa terlalu unprecedented. It seems completely cut by the existing culture.

This is the new frontiers for the advertisers. Culture ternyata selain bisa dimapankan, ia juga bisa “disubversi”. Ketika jaman “semangat produksi” berganti menjadi jaman “semangat konsumsi” masyarakat bisa menampilkan atau merepresentasikan hal-hal baru yang mungkin tak pernah terbayangkan di masa sebelumnya.

Mungkin, sesekali perlu mendengar kritik para feminis saat mereka menyuarakan terjadinya “symbolically annihilted” pada kaum perempuan dalam representasi iklan. Tapi lain kali aja soal ini dibicarakan.

Moral cerita yang hendak diangkat di sini sebenarnya sederhana saja:

“Semua ide tentang keindahan pada dasarnya irreducible, tidak dapat dikurangi, disempitkan, atau bahkan dibekukan, dalam bentuk-bentuk representasi sosial budaya. Ia selalu lebih luas dari aneka representasinya”

Iklan bisa meng-create sosok idealnya. Budaya, termasuk pandangan-pandangan keagamaan, juga punya ideal kreasinya. Tetapi, masyarakat juga punya kemampuan genuine dalam urusan mengatur, memilih, membatasi, dan memampukan jenis-jenis culture yang diproduksinya.

Beriklan perlu, produk iklan malah harus makin kreatif, apalagi, “performing self” dalam kehidupan sehari-hari jelas disadari perlu kebanyakan orang.

Sebaliknya, membekukan self itu yang tidak perlu. Memandang bahwa identitas sudah final itu yang tidak perlu. Identitas yang dimaksudkan di sini adalah citra atau penampilan dalam kehidupan, atau istilah apapun yang ingin anda namai, selalu berada di ruang negosiasi terus menerus. Di ruang macam itulah anda bisa benci atau jatuh cinta pada produk iklan, tetapi pada saat yang sama anda tetap independen dan kritis serta tidak dihegemoni, atau bahkan dikuasai oleh produk iklan.

Pos terkait