Ulang Tahun?! Akankah Selamat Sampai Tujuan?

Hanya didalam waktu, eksistensi relevan bagi manusia. Memang, segala yang ada berada di dalam waktu. Kurang lebih, itulah sekelumit yang dapat dipetik dari Heidegger. Lalu, manusia melakoni- mengada. Sejauh itu, semua lelaku manusia dikonstitusikan hasrat eksternalisasi-objektifikasi diri. Bagi Camus, eksistensi berarti: Aku berontak maka kita ada! Ia memang seorang pemikir madzhab pemberontak sosial.

Produk samping, jika bukan limbah, dari proses-upaya mengada: repetisi, reproduksi. Mungkin, itu sesuatu yang tak terelakkan, karena manusia berada di dalam waktu relatif, waktu terbilang dalam hitungan detik, menit, tahun. Kesadaran akan waktu memang eksistensial bagi manusia. Darinya, manusia memiliki masa lalu, kini, dan masa depan.

Bacaan Lainnya

Kenangan: manis-getir, menyublim menjadi sejarah. Manusia tak hanya menghukumi otentitas dirinya dengan sejarah. Juga, menyandarkan diri pada sejarah. Melalui cara itu, manusia berikhtiar menjinakkan kengerian di waktu lampau serta mengelola ketidakpastian bagi kehidupan bersama yang didamba, yang dicantholkan di masa depan. Tapi, manusia selalu saja lengah.

Tragedi terus saja terjadi, kengerian kembali mencekam. Manusia tak beranjak dari kubangan masalah yang sama: keculasan, ketakadilan, kebengisan, menipu demokrasi. Pengantar menuju perang dan perpecahan. Mengingatkan keluhan Havel atas bubarnya Republik Ceko-Slovakia: Langit kelabu kebosanan, kebekuan, dan kebisuan muncul kembali. Kita hanya terpesona aneka warnanya yang menyiratkan betapa sulit menampakkannya dalam iklim politik bebas kita, baik dalam arti baik maupun buruk, selalu mengalami hal-hal yang mengagetkan. Dan,Havel benar: kita kembali dijajah.

Sejarah nampaknya tak sekedar repete, berulang. Lebih dari itu: berputar-putar. Tentu manusia tak lantas jengah. Karena, kehidupan bersama tak hendak dibubarkan, masa depan tak hendak dipungkasi. Ikhtiar mengawetkan kehendak hidup bersama dalam jalan yang telah digariskan sejarah, dilakukan, salah satunya melalui ritual: Ulang tahun- Milad-Dies Natalis.

Seseorang dilahirkan, suatu peristiwa terjadi, diwaktu lalu. Amat mengesankan. Menorehkan jejak-jejak penting dalam konteks dan bingkai sosial-komunitas tertentu. Menjadikannya layak dituliskan dalam sejarah. Lalu, dikenang sebagai bagian panoramik kehidupan bangsa.

Para pengikut Husain Bin Ali, menyeru: setiap hari adalah Assyura, setiap tempat adalah Karbala. Dan, pada tanggal Husain dipenggal, mereka menyelenggarakan festival penderitaan. Medium penghayatan atas tragedi yang menimpa sang tokoh, melalui pelibatan diri dalam rasa sakit. Mekanisme mengawetkan totalitas: makna, gelora hati, harapan yang terangkum dalam sejarah.

Ulang Tahun tampaknya mekanisme paling rileks untuk merayakan totalitas itu. Momen yang semestinya, menghadirkan kembali gairah yang mengiringi pemenuhan takdir sebuah peristiwa. Dalam ritual Ulang Tahun, manusia seharusnya bercengkerama dalam kesadaran akan waktu. Meneguhkan pesan dari yang lampau, menelisik hari ini, dan mengancangkan hari esok, dalam satu paket pergulatan. Tentu tak selalu begitu. Karena, manusia dibekali kapasitas untuk ingkar, berkhianat.

Merayakan Ulang Tahun jelas bukan kemeriahan mengadukan derita atau kemegahan hari ini kepada yang lampau. Tapi memastikan wasiat yang lampau untuk membereskan hari ini. Merayakan Ulang Tahun memang mengandung resiko: tuntutan menyesuaikan bangunan makna hari ini dengan bangunan makna yang telah disegel dalam sejarah. Dan, itulah ekspresi otentik penghormatan atas peristiwa yang menandai eksistensi. Juga, rasa hormat terhadap tetesan darah leluhur.

Sebab bila tidak demikian, perayaan Ulang Tahun sekedar ritual mekanistik seturut jatuh tempo waktu yang memang bergerak melingkar. Kosong dari makna. Tak lebih dari momen nostalgik yang rentan godaan selera memborjuasi.

Dikuntit kekhawatiran akan hal itu, HMI berUlang Tahun ke-75. Dies Natalis. Akankah selamat sampai di tujuan?

Pos terkait

banner 468x60