Feminisme Melawan Patriarki di Indonesia

  • Whatsapp

Konsepsi persepsi patriarki pada prinsipnya didasari oleh pandangan paternalis yang memberikan asumsi bahwa dalam sistem sosial, keberadaan bapak atau laki-laki menjadi suatu fenomena yang menentukan terwujudnya struktur fungsionalisme dalam keluarga. Budaya ini menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang diposisikan secara subordinat dengan batasan dimana mereka tidak dapat melampaui standart kedudukan peran utama atau laki-laki.

Jika melihat jauh ke belakang dalam konteks Indonesia, budaya patriaki telah tumbuh subur berbarengan dengan budaya feodal yang telah lama hadir di Indonesia. Praktek tersebut bisa kita amati tentang konsep “Konco wingking” yang ada dalam masyarakat Jawa. Konsep konco wingking disini dapat diartikan sebagai perempuan atau istri berasa dibelakang laki-laki atau suami. Tidak heran jika pada masa lalu masyarakat Jawa melihat perempuan hanya memiliki fungsi 3 M, (macak, masak, manak).

Praktik 3 M ini membuat perempuan hanya ditempatkan pada urusan domestik saja, sedangkan urusan publik sepenuhnya menjadi milik laki-laki. Fenomena yang terjadi ini membuat posisi perempuan berada pada posisi rentan, atau bahkan tidak memiliki kekuatan sama sekali dibandingkan dengan laki-laki.

Kerentanan itu diakibatkan oleh akses terhadap pendidikan, hingga kesempatan bekerja yang tidak setara dengan laki-laki. Sehingga perempuan tidak memiliki pengetahuan yang cukup ataupun tidak memiliki kemandirian ekonomi. Hal inilah yang membuat banyak terjadinya kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Pada posisi ini perempuan tidak bisa berbuat banyak. Dalam persoalan- persoalan inilah muncul aliran feminisme sebagai alat perlawanan ketidakberdayaan perempuan terhadap laki-laki.

Feminisme adalah ideologi tentang kebebasan perempuan yang terbentuk dalam sebuah gerakan untuk menghapus eksploitasi, ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan. Ideologi seperti ini yang mulai ada di Indonesia salah satunya disuarakan oleh Raden Ajeng Kartini. Dari tekad dan keberaniannya, tak terhitung bagaimana kerasnya Ibu Kartini dalam membongkar hierarki gender.

Gerakan ini bukan semata hanya dilakukan untuk perempuan karena erat hubungannya dengan identitas dan maskulinitas laki-laki maka, dibutuhkan peran laki-laki dan perempuan secara selaras dalam membawa perubahan sosial untuk memutar sistem dan struktur budaya patriarki di kehidupan masyarakat.

Melalui surat-suratnya, Kartini berhasil menyuarakan harapan perempuan akan kebebasan yang pada saat itu terkungkung oleh tradisi. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang sekolah, dipingit, hingga harus siap menikah dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Oleh karena itu, bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia.

Islam dan Feminisme

Dalam banyak kesempatan, gerakan Feminisme banyak ditabrakkan dengan hukum Islam. Hal ini tentu adalah MITOS yang sengaja dibuat. Bahkan, para cendekiawan muslim dan ulama menganggap, feminisme tidak menjadi masalah dalam islam karena prinsipnya memiliki hubungan dengan teologi Islam.

Mari sejenak flashback melihat bagaimana Islam pertama kali muncul di Tanah Arab. Pada masa pra Islam kaum perempuan dipandang tidak memiliki derajat kemanusiaan yang utuh, dan oleh karenanya perempuan tidak boleh bersuara, tidak berhak berkarya, dan tidak memilki harta. Bahkan, eksistensinya sebagai mahluk manusia masih dipertanyakan.

Perempuan pada zaman jahiliyah atau sebelum datangnya agama Islam, bagaikan sebuah benda yang bebas diperlakukan apa saja oleh pihak laki-laki. Dan posisinya menjadi menjadi kelompok kelas dua. Perempuan tugasnya hanya melayani laki-laki dan harus siap kapanpun saat diperlukan.

lahirnya seorang anak perempuan dalam sebuah keluarga, bagaikan ‘aib’ bagi keluarga. Apalagi bila mereka mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok masyarakat. Karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru dilahirkan harus dibunuh, bahkan caranyapun ada yang dikubur dalam keadaan masih hidup. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Sebagaimana firman Allah,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, ‘Karena dosa apa dia dibunuh?’” (QS. At-Takwir [81]: 8-9)

Dalam kondisi yang tidak manusiawi seperti itu, Islam datang dengan membawa ajaran dan program-program kemanusiaan, termasuk mengangkat derajat wanita dan memberikan hak kebebasan kepada mereka. Islam memberikan hak-hak istimewa kepadanya, sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Wanita dan pria berasal dari keadaan yang sama, dan mereka pun mempunyai balasan yang sama pula di sisi Allah. Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi dalam kitabnya mengatakan:

اِنَّ الاِسْلَامَ حِيْنَ جَاءَ اِلَى الْعَالَمِ رَفَعَ مَكَانَةَ الْمَرْأَةِ وَأَعْطَاهَا حُرِّيَتَهَا وَكَرَامَتَهَا وَشَخْصِيَتَهَا وَسَاوَى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّجُلِ فِي الْحُقُوْقِ وَالْوَاجِبَاتِ.

Artinya, “Sungguh ketika Islam datang ke bumi, ia mengangkat derajat wanita, memberikan kebebasannya, kemuliaannya, keperibadiannya, serta menyamaratakannya dengan laki-laki dalam hak-hak dan kewajiban.” (Syekh Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, 2019, halaman 9).

Di antara bentuk dan program dalam Islam yang memuliakan wanita adalah penyamarataan dengan laki-laki dalam hal perolehan pahala dan siksa atas suatu perbuatan, sebagaimana firman Allah, yaitu:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Artinya, “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]: 97)

Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gerakan Feminisme tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, malah Islam secara tegas mendorong kesetaraan yang sama antara perempuan dengan laki-laki dan sepenuhnya yang dilawan dalam gerakan feminisme di Indonesia adalah budaya patriaki yang membuat perempuan berada dalam posisi yang rentan.

Dalam kehidupan hari ini posisi perempuan telah banyak berubah, peran perempuan dalam ruang publik telah mengalami perkembangan bahkan juga mendapat perlindungan secara hukum. Peraturan Perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

Meskipun begitu, dalam praktiknya masih banyak hal-hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari posisi perempuan yang masih rentan, mulai dari cat calling hingga pelecehan seksual di ruang publik. Hal ini masih perlu didorong untuk dilakukan perbaikan sehingga kedepan ruang aman bagi perempuan di ruang publik dapat sepenuhnya dijamin oleh negara.

Pos terkait