Jl. KH Ahmad Dahlan

  • Whatsapp

Ada ruang pembacaan menarik tiap kali menyusuri Jl. KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Jalan itu menemukan penanda awalnya dari titik nol kilometer Kota Yogyakarta. Warisan modernisme Eropa dalam bentuk aneka bangunan kuno cagar budaya yang bersejarah memadati kanan kirinya. Seterusnya memanjang menembusi ruas wilayah perkampungan Kauman dan sekitarnya. Jika dari arah berseberangan, titik nol kilometer bergerak menuju Pecinan di Secodiningratan. Dari titik nol kilometer pula, bisa ditarik dua titik berseberangan, Kraton Yogyakarta ada di posisi berseberangan dengan Gedung Agung, tempat Gubernur Yogya di zaman penjajahan Belanda berkantor.

Titik-titik lokasi ini, jika disatukan membentuk sebuah ‘political geography’ yang khas, dan dengan menggunakan cara melihat seperti burung terbang di langit segera tampak pula ‘geography of mind’ dari wilayah paling penting di tengah Kota Yogya ini.

Bacaan Lainnya

Perpaduan antara ‘political geography’ dan ‘geography of mind’ pada Jl. KH Ahmad Dahlan, bisa menjadi alat untuk menjelaskan bagaimana dinamika sesuatu masyarakat terbentuk. Jika konsep itu dioperasikan, misalnya, ia berguna untuk menelusuri konstruksi sosial sekaligus konstruksi spasial pada lokasi dimana Muhammadiyah didirikan.

Sisi ‘political geography’ mempertemukan aneka pusat kekuasaan politik dan budaya, sementara ‘geography of mind’ menggambarkan keanekaragaman tradisi pemikiran yang saling berkontestasi: tradisi Jawa, modernisme Eropa, Islam modernis, juga sumbangan dari komunitas Vremde Oosterlingen atau golongan masyarakat Timur Asing.

Singkatnya, ada korelasi kuat antara pikiran, ruang sosial, tradisi kekuasaan, dan produksi pengetahuan yang melatari, melingkupi dan menggerakkan kehidupan sebuah entitas sosial-keagamaan, bernama Muhammadiyah di awal berdirinya.

Melihat semua itu, ungkapan KH Ahmad Dahlan menjadi sangat relevan, bahwa di suatu masa yang berbeda tatkala Muhammadiyah berkembang seiring waktu, Muhammadiyah akan tampak berbeda sekali. Sang pendiri persyarikatan kaum muslim modernis itu menegaskan, Muhammadiyah tidak akan sama lagi dengan masa awal pembentukannya. Kekuatan organisasi, kekuatan sumber daya manusia, kekuatan ‘ideologi perjuangan’, dan kemampuan mengelola amal usaha, akan berkembang menjawab tantangan zaman. Setidaknya, kita bisa menangkap ada perubahan dan kesinambungan yang terjadi mengiringi sejarah perjalanan Muhammadiyah.

Pertanyaan pokok kita saat ini adalah: jika hari ini kaum muslim modernis bisa datang dari mana saja, dan tidak hanya dipasok oleh Muhammadiyah, konsekuensi apa yang akan menyertainya? Atau, pertanyaannya diperluas lagi, jika modernisme Islam dianggap ramah terhadap demokrasi, bahkan ikut memperluas dan menguatkan basis sosial demokrasi, apakah melalui Muhammadiyah genre modernisme macam ini masih menjadi kekuatan besar, yang mendorong kekompakan antara Islam dan demokrasi?

Konstruksi sosial dan konstruksi spasial Muhammadiyah hari ini, tentu saja tidak lagi berakar pada lokasi di sekitaran Jl. KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah telah meluas ke seluruh antero negeri ini. Bahkan, proyeksi mengembangkan organisasi pembaruan Islam ini di tingkat global telah berhasil dijalankan. Beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di sejumlah negara di Eropa, Asia, Amerika, dan Australia.

Di Jl. KH Ahmad Dahlan, kapasitas refleksi yang saya miliki berkembang. Mungkin, dan tak perlu diragukan lagi, kapasitas refleksi yang jauh lebih besar, terjadi di wilayah ini pada tahun 1912, saat Kyai Dahlan dengan rancangannya yang canggih, berhasil mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Di tengah perjalanan mengarungi abad kedua usianya, tidak berlebihan jika kita bertanya, atau sekaligus berharap.

Jika sejak masih berupa gagasan, dan kemudian dilahirkan dalam lingkungan sosial dan spasial yang modern di tengah determinasi budaya tradisional Jawa di Yogyakarta, pertanyaan ini menarik diungkapkan. Apakah gerakan ‘Islam Berkemadjoean’ yang diusung Muhammadiyah akan sanggup memunculkan wajah Islam Indonesia di tingkat global?

Tentu saja wajah Islam yang modern, moderat, bervisi membangun peradaban, dan ikut memperkuat kokohnya keragaman dalam ikatan keadaban yang mulia. Bukan wajah Islam di luar itu.

Oleh: Hadi Winarto

Pos terkait