Panggung Sandiwara: Sebuah Pelajaran dari Rumah Sakit

  • Whatsapp

Malam itu sekitar pukul 19.30, ahir bulan Mei 2023, di sebuah poli rawat jalan rumah sakit swasta di Jember, ramai sekali antrian menunggu giliran dipanggil masuk ke ruang periksa. Di tengah ramainya pasien yang menunggu antrian, saya mencoba mencari tempat duduk yang masih kosong. Tanpa disengaja pandangan ini tertuju pada seorang “sepuh” yang di sebelahnya masih ada kursi kosong. Dari raut mukanya kelihatan bahwa beliau masih sehat, segar dan dari wajahnya terpancar keteduhan serta ketenangan.

Dengan sopan menurut ukuran sendiri saya mendahului menyapa dan meminta ijin untuk duduk di sebelahnya. Setelah kami saling berkenalan ternyata usia beliau 78 tahun, “sepuh” tetapi masih sangat bugar. Walau tidak terucap secara verbal, jujur saya iri dalam arti positif terhadap kondisi fisik bapak yang baru saya kenal itu. Bahkan saya lebih iri lagi setelah tahu bahwa beliau berkunjung ke rumah sakit bukan karena sakit apa apa, melainkan hanya untuk kontrol rutin bulanan.

Di malam yang udaranya cukup hangat itu saya beruntung berkenalan dengan seorang yang luar biasa. Dari obrolan berdua saya banyak belajar tentang kehidupan. Setelah saling kenal beliau minta ijin untuk memanggil saya dengan panggilan yang amat saya suka yaitu, “anda”. Dalam pertemuan itu beliau mengingatkan saya bahwa hidup di dunia ini amat singkat dan kita hanya berperan sebagai pemain sandiwara.

Perhatikan orang yang ada di rumah sakit ini, kata beliau. Mereka ber”seliweran” kesana kemari dengan alasan masing-masing. Anda tahu bahwa mereka hanya pemain sandiwara yang pada saatnya akan berahir. Bisa jadi mereka besok bertemu kembali tetapi bisa juga tidak karena beberapa alasan atau bahkan karena telah tiba saatnya menghadap sang Maha Kuasa. Anda dan saya bisa berjumpa lagi bulan depan tetapi juga bisa tidak. Itulah kehidupan, tidak ada yang abadi, semua akan berahir dan akan kembali pada Sang Maha Pencipta. Pada ahirnya, kata beliau selanjutnya, kaya miskin, awam alim, pejabat dan penjahat, politikus dan mereka yang rakus, dan siapa pun kita, suatu saat pasti berpisah dengan dunia serta isinya. Saya mendengarkan dengan tekun kemudian timbul rasa kagum pada bapak sepuh yang bersemangat sekali menasehati saya.

Beliau melanjutkan obrolan sambil memperbaiki duduknya agar lebih dekat ke arah saya. Semoga anda masih ingat bahwa dulu ada lagu yang berjudul “Panggung Sandiwara”, karya penyair kita Jusuf Antono Djojo atau yang biasa dikenal Ian Antono bersama Taufik Ismail. Lagu tersebut dinyanyikan oleh Ahmad Syech Albar atau biasa dikenal dengan Ahmad Albar yang merupakan vokalis grup musik rock God Bless. Luar biasa bapak ini, ingatannya begitu tajam membuat saya semakain kagum saja.

Sebentar kemudian beliau melafatkan lirik lagu tersebut sambil sesekali tersenyum dengan penuh makna. Beliau masih mampu menghafal lirik lagu tersebut. Hidup ini hanya sebuah sandiwara kata beliau sambil menatap ke arah orang orang yang berlalu lalang di depan kami. Kemudian beliau memulai lagi memaknai lagu yang terkenal pada tahun 1977 tersebut.

Coba anda perhatikan, kata beliau dengan serius. Tema lagu tersebut menggambarkan bahwa kehidupan ini seperti sebuah panggung sandiwara yang setiap harinya memiliki cerita yang mudah merubah. Jika pagi orang merasa sangat senang maka sorenya belum tentu mereka merasa senang. Jika paginya mereka merasa dunia adil maka sorenya belum tentu mereka merasa dunia adil padanya. Paginya ikut kelompok A bisa saja sorenya sudah berada di B, dan besok paginya berada di C. Itulah panggung sandiwara.

Setiap orang pasti melakoni peran masing-masing dalam kehidupan ini, apapun peran itu; entah itu peran kebaikan ataupun peran keburukan. Di zaman modern ini dengan sarana yang canggih sangatlah mudah bagi seseorang untuk mengambil peran melakukan apa saja baik yang berupa kebaikan maupun keburukan serta kebenaran ataupun kebohongan. Pada saat ini banyak orang berani berbuat serta berkata yang tidak sesuai dengan nuraninya. Tidak sedikit mereka yang tanpa rasa malu menjilat kembali omongannya sendiri. Sering kita melihat orang yang berpura-pura bahagia padahal tidak dan sebaliknya berpura-pura tersakiti padahal bahagia. Inilah panggung sandiwara, lanjut bapak “sepuh” tersebut.

Anda pasti sering memperhatikan bahwa saat ini banyak sekali orang yang saraf malunya sudah putus saat memainkan peran dalam kehidupan ini. Lihat saja kata beliau, kalau orang sudah membela seseorang, maka seluruh perbuatan dan perkataan orang yang dibelanya akan dianggap benar, manis dan bermanfaat. Tidak jarang dengan tanpa rasa malu seseorang bersedia melakukan apa saja untuk membela orang yang disukainya walaupun nuraninya menolak. Kemudian bapak “sepuh” tersebut menyitir pesan almarhum Gombloh dalam sebuah lagunya, “kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat”.

Perhatikan dan lihat saja di media sosial, kata beliau selanjutnya. Ketika kita sedang membela orang yang disukai, dukungannya sering mebuat orang yang mendengar dan membaca tertawa geli karena lucunya sering mengalahkan kelucuan lawakan yang paling lucu sekalipun . Bahkan tidak jarang orang yang disukai dianggap seperti malaikat, tidak pernah salah. Sering kita dibuat terbahak bahak saat membaca, mendengarkan atau menonton sajian atau kabar bahwa angin yang keluar dari pantat orang yang dibelanya diberitakan harum serta wangi bak parfum “branded” dari Eropah. Ini betul betul panggung sandiwara, kata beliau sambil tersenyum, teduh sekali.

Sebaliknya ketika tidak suka kepada seseorang, semuanya akan menjadi salah dan buruk dalam pandangannya. Jangankan orang yang tidak disukai salah, benarpun bisa dinggap salah atau paling tidak dicari cari salahnya. Pokoknya, semua yang dilakukan oleh orang yang tidak disukai pasti selalu dinggap salah: berbuat dianggap salah, berkata dianggap salah, diam juga dinilai salah, senyum dan tawanya pun bisa dikategorikan salah, bahkan tidur dan bangun tidurpun bisa diumumkan salah. Itulah sandiwara kehidupan.

Coba anda lihat keadaan negeri kita tercinta menjelang tahun politik 2024. Sampai muak rasanya mendapatkan banyaknya pemeran sandiwara dengan lakon masing-masing. Saya semakin asik saja mendengar nasehat orang “sepuh” ini. Sayang percakapan malam itu harus berahir karena dari pintu ruang periksa terdengar suara lembut tetapi tegas, “bapak fulan” . Maaf saya harus masuk ke ruang periksa, kata orang “sepuh” itu dengan suara yang lembut, tenang tetapi bertenaga. Saya terkejut mendengar kata pamit itu, karena sejatinya saya masih ingin mendengar nasehat beliau tentang panggung sandiwara, sebuah pelajaran dari rumah sakit.

Pos terkait