Praktik Kotor Pandemi Covid-19

  • Whatsapp

Bersamaan dengan kisah pilu selama pandemi Covid-19, ada saja orang-orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Mereka nekat melakukan praktik kotor demi keuntungan untuk dirinya dan kelompoknya. Sedih, tetapi nyata adanya.

Awal tahun 2021, saya dan tim rekan kerja menemukan praktik kotor pemalsuan masker medis. Masker medis ini sengaja dipalsukan untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan. Nyatanya, masker yang dijual di pasar online dan offline itu palsu dan tidak sesuai standar sebagai masker medis. Masker-masker itu terlanjur beredar bebas, sebagian dipakai para nakes di garis depan layanan pandemi.

Masker yang dipakai tenaga kesehatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat ini ternyata bukan masker medis, 8 Maret 2021. Masker tersebut adalah masker untuk keperluan industri. (Sumber foto : Penulis)

 

 

 

 

 

 

 

 

Mestinya nakes menggunakan masker yang tepat sebagai salah satu alat pelindung selama bekerja. Namun mereka tertipu, terjebak oleh bujuk rayu iklan masker medis palsu. Ini terjadi karena permintaan masker medis sedang tinggi, sementara literasi tentang masker medis belum baik. Ketika itu, awal tahun 2021, kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi-tingginya.

Praktik kotor terjadi saat program vaksinasi, ada saja pihak-pihak yang mencoba mendapatkan keuntungan baik materi maupun non materi. Di Medan, Sumatera Utara, dua oknum dokter yang juga aparatur sipil negara (ASN) menjual vaksin Covid-19 yang seharusnya gratis. Mereka berkomplot dengan agen properti dengan menjual vaksin Sinovac Rp 250.000 per orang untuk dua dosis di Medan dan di Jakarta.

Rabu (8/9/2021), mengutip kompas.com, dua dokter yang menjadi tersangka kasus ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Medan. Jaksa penuntut umum mendakwa mereka melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas perbuatannya, mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Masih pada pelaksanaan vaksinasi, orang-orang memiliki akses kedekatan dengan pihak-pihak pemegang kuasa mendapatkan vaksin lebih dahulu. Kompensasinya mereka membayar dengan jumlah uang tertentu. Ini melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, penerima vaksin dalam pelayanan vaksinasi program tidak dipungut bayaran atau gratis.

Meskipun pemberi uang rela, namun esensi aturan itu adalah mengenai keadilan dan kesetaraan. Siapa pun berhak atas akses yang setara untuk mendapatkan vaksin, kompas.id, Jumat (27/8/2021). Namun asas kesetaraan itu sepertinya tidak benar-benar dijaga dalam bentuk aturan yang ketat. Aturan vaksinasi dari berbagai level tidak mengamankan vaksin untuk kelompok-kelompok warga yang bias dengan kepentingan, misalnya partai politik.

Penulis menyaksikan sendiri vaksinasi yang digelar di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah di sebuah kantor partai politik yang menyasar anggota partai dan keluarganya akhir Juli 2021. Sementara pada saat yang sama, ada kelompok prioritas warga yang tertinggal dalam vaksinasi, salah satunya warga lanjut usia.

Panduan organisasi kesehatan dunia WHO SAGE (Strategic Advisory Group of Experts on Immunization) November 2020 menyebutkan, lansia menjadi prioritas pertama bersama tenaga kesehatan saat stok vaksin masih terbatas. Mengapa mereka layak didahulukan ? Mereka adalah kelompok rentan yang mudah terpapar dan menularkan virus ke orang lain. Banyak negara-negara lain yang mendahulukan lansia pada strategi vaksinasi mereka.

Namun di Indonesia, vaksinasi pada lansia baru dilaksanakan Februari 2021, setelah vaksinasi pada nakes. Vaksinasi pada lansia ini berbarengan dengan pekerja publik yang mestinya selesai pada Juli 2021. Namun setelah Juli, ketika vaksinasi pada warga masyarakat umum dibuka, cakupan vaksinasi pada lansia baru menjangkau 25,47 persen untuk dosis pertama dan 18,16 dosis kedua dari target 21,5 juta sasaran (vaksin.kemkes.go.id).

Sementara tingkat kematian karena Covid-19 pada lansia terbanyak dari semua kelompok umur yaitu 46,6 persen (covid19.go.id). Sebagian pejabat, penyelenggara vaksinasi, dan sumber-sumber lain menyebut, vaksinasi pada lansia terhalang beberapa hal, di antaranya keterbatasan fisik, termakan hoaks, dan tidak mau mengikuti vaksinasi. Justru karena medannya sulit, strategi vaksinasi mestinya dapat menjangkau mereka. “Saya mau divaksin, tetapi jika ikut vaksinasi massal saya ngga kuat berdiri lama-lama, kepala saya suka pusing,” kata Boni (62), lansia warga Kota Depok, Jawa Barat.

Di luar persoalan vaksin, saya mendengar ada praktek dugaan pungutan liar dan penyelewengan dana insentif yang seharusnya diterima tim pemakaman COVID-19 di Kota Malang, Jawa Timur, antaranews.com, Rabu (8/9/2021). Petugas pemakaman salah satu kelompok warga yang beresiko terpapar. Saat kasus lagi tinggi, tentu mereka bakal berlipat beban kerjanya. Jika insentif untuk mereka dipungli, itu sangat keterlaluan.

Pos terkait