Sarasehan Menguak Jejak Purbakala dan Peran Ekologis Benteng Alam Watangan Lojejer Jember

  • Whatsapp

Watangan Lojejer merupakan kawasan hunian purbakala yang dihuni hominid yang diduga bermigrasi dari kawasan Afrika ribuan tahun lalu. Mereka hidup di gua-gua di kawasan karst dengan memakan kerang, ikan dan binatang lainnya.

Sebagai upaya untuk memperkenalkan lebih luas lagi potensi gua purbakala di Watangan, panitia Krida Sinatria Bhumi Watangan menyelenggarakan sarasehan di Balai Desa Lojejer, (19/06).

Hadir sebagai pembicara adalah Eko Suwargono, Ketua Umum Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Deddy Endarto, pemerhati sejarah dan budaya dari Derap Kebudayaan Jember (Daya-Jember), dan Suharto, peneliti Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan UNEJ (Pusakajaya), dan Ikwan Setiawan, peneliti Lingkar Kajian Eko-Kultural dan Pengembangan Komunitas (NiraEntas) FIB UNEJ.

Di hadapan 50 peserta sarasehan yang terdiri dari karang taruna dan perangkat desa serta penggiat budaya, Eko Suwargono memulai paparan tentang hasil jelajah tujuh gua yang tersebar di Watangan. Selain beberapa gua yang telah diteliti oleh arkeolog Belanda dan Indonesia, Eko didampingi beberapa pemuda Sebanen Lojejer juga mengunjungi gua-gua yang belum diteliti seperti Gua Lowo 1 dan 2, Gua Sumbersalak, Gua Maelang, dan yang lain.

“Banyaknya gua-gua purbakala di Watangan ini menegaskan nilai penting kawasan Lojejer dan sekitarnya bagi peradaban manusia purba. Kenyataan historis ini yang harus kita sadari bersama, sehingga kita bisa mengembangkan kegiatan-kegiatan untuk merawat dan memanfaatkan secara proporsional, tidak merusak,” tegas lelaki jebolan Universitas Indonesia ini.

Deddy Endarto menjabarkan lebih lanjut tentang hasil penelitian yang dilakukan peneliti Belanda HR. van Heekeren pada tahun 1931-1937. Bersama alat fungsional seperti kapak batu, ia menemukan fosil manusia purba pigmy yang diusulkan sebagai Homo Pugerensis. Bisa jadi nama itu dipilih karena wilayah Puger memang cukup terkenal di era kolonial.

“Sayangnya, sebelum diteliti lebih lanjut, beberapa fosil dinyatakan hilang akibat perang. Apa memang demikian? Atau karena penyebab lain? Ada informasi mengatakan bahwa van Heekeren membangun hipotesis bahwa manusia purba Watangan mampu berevolusi. Ini yang menyebabkan perbedaan pendapat dengan para peneliti senior di Belanda. Namun, ini perlu ditelusuri lagi,” tutur Deddy.

Kalau ditelusuri lagi, nama Watangan dalam bahasa Jawa Kuna dan Bali Kuna,  berarti tempat kumpulan jasad yang mati atau pasetran. Masih menurut Deddy, begitu tuanya wilayah ini, manusia-manusia yang memiliki kaitan dengan Watangan sangat menghormatinya, sehingga dijadikan kawasan “wingit” yang harus dijaga dan dipelihara kesakralannya.

Tak kurang dari raja besar Majapahit, Sri Rajasanagara Dyah Hayamwuruk, mengunjungi area Watangan guna menghormati leluhur purbanya. Dan itu tidak bisa diwakilkan pada orang kepercayaan terdekat sekalipun. Karena masalah darah dan spiritual, sehingga harus mengorbankan rasa nyaman dan keamanannya menempuh perjalanan jauh dari Istana ke Gunung Keramat Purba tempat leluhurnya berasal, Watangan.

Sementara, Suharto menegaskan bahwa pada tahun 1920-an, kawasan Meru Betiri hingga Watangan ini hendak dijadikan taman nasional oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena di sebelah Barat sudah ada ratusan rumah, maka taman nasional hanya sampai Bande Alit. Namun, kawasan Kucur hingga Watangan dijadikan cagar alam oleh pemerintah kolonial.

“Artinya, sejak era kolonial, Watangan ini memiliki posisi sejarah yang sangat penting, khususnya untuk kawasan konservasi. Ini harus menjadi perhatian kita bersama. Wilayah Watangan semestinya jangan diusik dengan tindakan merusak. Lebih baik dikelola bersama warga dan Perhutani untuk kegiatan penelitian dan wisata yang edukatif,” papar dosen prodi Ilmu Sejarah FIB UNEJ yang tesisnya meneliti perkembangan reyog di Jember selatan ini.

Melengkapi pendapat para pakar tersebut, Ikwan Setiawan mengajak warga untuk terus merawat dan menjaga kawasan Watangan sebagai benteng alam. Watangan melindungi masyarakat Lojejer dan Wuluhan dari potensi tsunami akibat gempa megathrust di Samudra Indonesia.

“Jangan sampai Watangan ditambang seperti Tumpang Pitu, Banyuwangi. Kalau benteng alam sudah hancur, maka bencana bisa hadir dan menimbulkan masalah serius untuk kehidupan masyarakat. Fungsi ekologis Watangan harus tetap dipertahankan. Toh, warga tetap bisa mendapatkan manfaatnya,” ucap lelaki kelahiran Lamongan ini.

Mengingat potensi kepurbakalaan tersebut, Eko Suwargono menjelaskan bahwa DeKaJe bersama Pemdes Lojejer, kelompok peneliti Universitas Jember, dan lembaga lain yang memiliki kepedulian akan mulai mengkaji secara komprehensif kemungkinan pengembangan wisata minat khusus seperti jelajah gua, creative camping, penelitian, dan konservasi. Tentu saja itu semua harus melibatkan warga Lojejer.

Pos terkait