Mimicry atau Hibridity: Menikmati Alun-Alun Kota Gresik

  • Whatsapp

Bagi siapa saja yang mampir Kota Gresik hari ini, dia akan mendapati sebuah pemandangan dari karya arsitektur nan indah. Alun-Alun Kota Gresik muncul mirip sebidang bangunan yang datang dari bagian dunia berbeda. Ia seperti secuil bangunan yang diboyong dari Kairo, Mesir atau mungkin dari Qatar, atau Saudi Arabia. Bangunan itu demikian indah hingga dengan cepat terasa berbeda dengan bangunan di sekitarnya.

Menyaksikan karya arsitektur sehebat Alun-Alun Kota Gresik kadang teringat obrolan beberapa ahli arsitektur bangunan saat bekerjasama dengan Komunitas Bandung Heritage. Komunitas yang berkhidmat melestarikan bangunan² tua dengan arsitektur tinggi dan bernilai sejarah di Kota Bandung itu kerap terdengar membincangkan topik menarik ini:

Apakah arsitektur Eropa di Bandung dulu dibuat dengan pertimbangan memberi ruang terjadinya social correspondence dengan kultur lokal?

Artinya, gedung-gedung besar, taman-taman kota, juga tempat-tempat liburan, diakui seluruhnya dibangun dengan memperhatikan iklim sekitar, kontur tanah, tata kota dan berbagai pertimbangan estetika yang diandalkan.

Tetapi tetap saja, pertanyaan pokok masih belum tuntas jawabannya: apakah bangunan-bangunan itu mendekatkan atau menjauhkan dalam hubungan-hubungan sosial di masyarakat, apakah ia mengintegrasikan atau mengundang keterasingan?

Biarlah domain ini menjadi kerjaan para arsitektur dalam memberi jawaban.

Studi tentang arsitektur juga menjadi bagian dari studi post-kolonial, setidaknya jika membincangkan tentang fungsi ruang dan relasi sosial. Di dalamnya terjadi proses pertukaran yang menghasilkan, kata Homi Bhabha, apa yang disebut MIMICRY, proses meniru tatanan budaya sang penjajah (the colonizer) oleh yang terjajah (the colonized). Konsep mimikri cukup operasional untuk melihat fungsi sosial dari karya arsitektur.

Apakah mimikri juga bisa digunakan membaca fungsi sosial Alun Alun Kota Gresik?

Ini pertanyaan yang tentu saja jawabannya lumayan rumit. Alun Alun Gresik tentu saja tidak lahir dari suasana ketimpangan sosial sebagaimana melatari karya arsitektur kolonial. Alun-Alun Gresik justeru merepresentasikan karya yang lebih mencerminkan HIBRIDITY sebagaimana dijelaskan oleh post-kolonial. Barangkali, jika bisa disebut rada sedikit dilematis, urusannya akan berkaitan dengan pertanyaan ini: kekuatan sosial manakah yang mampu memproduksi karya arsitektur hibrid yang hebat ini?

At the end, jika datang ke Gresik, sesekali mampirlah Alun Alun Kota Gresik. Setelah itu, sederhana saja, biarkan pertanyaan nakal ini melintas: “seberapa “nyekrup” secara emosional dan kognitif anda dengan karya arsitektur hebat ini”.

Itu akan menjadi bagian yang cukup berarti untuk mengenal Gresik dan “kegresikan”.

Just enjoy your feeling…

Pos terkait