Reformasi 1998: Solidaritas atau Mati!

  • Whatsapp

Goenawan Mohamad menilai bahwa solidaritas sesungguhnya bukan sesuatu yang tidak mungkin, meskipun para elit di Indonesia terbiasa dalam fragmentasi yang parah, tumbuh dalam iklim saling curiga, serta memiliki semangat berkontestasi yang tinggi dengan menggerakkan kekuatan berbasis sektarianisme masing-masing. Kemunculan Majelis Amanat Rakyat atau MARA — gerakan yang menjadi cikal bakal kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) — pada 14 Mei 1998 menurut Goenawan lebih banyak digerakkan oleh dorongan untuk memberi semacam bentuk kepada perlawanan untuk reformasi politik. Dorongan-dorongan inilah yang membuat performa MARA, terutama pada masa awal pembentukannya, lebih menonjol sebagai gerakan solidaritas. Bentuk semacam itu telah jauh berkembang dari rencana semula, yang akan dibuat sebagai tempat bekumpul dan memantau reformasi.

Rancangan gerakan solidaritas itu, tentu saja, tidak selalu merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Ini terkait dengan pengakuan yang luas bahwa civil society—yang kerap muncul dalam bentuk gerakan solidaritas atau gerakan moral—memiliki peranan besar dalam mendorong proses demokratisasi di berbagai negara di dunia, baik di Eropa Timur, Asia, Amerika Latin, maupun Afrika.

Dalam kaitannya dengan demokrasi, Larry Diamond dalam tulisannya Toward Democratic Consolidation menyuguhkan definisi komprehensif tentang civil society. Menurut Diamond, civil society merupakan:

….. the realm of organized social life that is voluntary, self generating (largely) self supporting, autonomus from the state, and bound by a legal order or set of shared rules. It is distinct from ”society” in general in that it involves citizen acting collectively in a public sphere to express their interest, passions, and ideas, exchange information, achieve mutual goals, make demands on the state, and hold state officials accountable. Civil society is an intermediary entity, standing between the private sphere and the state.

Berdasarkan definisi di atas, Diamond mempertegas keberadaan civil society sebagai sebuah intermediary entity, yang berada di antara ruang pribadi dan state. Civil society, karena itu, lebih terkait langsung dengan masalah-masalah publik. Kehadiran civil society sebagai kelompok sosial yang beroperasi dalam wilayah ruang publik ini, membuat civil society memiliki pola hubungan yang khas dengan state. Civil society memiliki berbagai jenis pola hubungan yang bersifat unik dengan state, namun hubungan-hubungan itu menurut Diamond tidaklah ditujukan untuk memenangkan kekuasaan formal yang dimiliki state. Civil society juga beroperasi dalam bentuk berbagai kegiatan yang berada di antara aktivitas bisnis dan aktivitas pemerintahan, juga di antara aktivitas pribadi dan aktivitas pemerintahan.

Karena itu, civil society dapat terdiri dari berbagai bentuk organisasi yang concern terhadap berbagai persoalan publik. Misalnya, organisasi-organisasi kewargaan, organisasi yang berorientasi pada isu-isu tertentu, organisasi keagamaan, organisasi pendidikan, kelompok-kelompok kepentingan yang memperjuangkan pendidikan, yang beberapa kita kenal sebagai Non-Govermental Organization (NGO), dan beberapa lagi jenis organisasi yang secara struktural bersifat sangat longgar dan tidak resmi.

Bahkan, civil society juga bisa terdiri dari para individu yang bertindak secara kolektif, yang mengajukan permintaan-permintaan kepada negara, atau mengekspresikan pendapat dalam ruang publik mengenai kepentingan-kepentingannya, preferensi-preferensinya, atau ide-idenya, atau mengontrol kewenangan negara dan membuat kewenangan itu sebagai sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam Majelis Amanat Rakyat, fungsi intermediary menguat karena seluruh jalinan gerakan solidaritas yang diusung MARA, pada dasarnya tersusun oleh empat dimensi utama. Antara lain, pertama, MARA merupakan aliansi demokrasi, kedua, MARA sebagai wahana kaum sipil untuk melakukan resistensi menghadapi Orde Baru. Ketiga, MARA bertujuan memperlemah dominasi negara, dan keempat, MARA berusaha memperkuat hak-hak warga negara.

Dimensi aliansi demokrasi memiliki pengertian bahwa gerakan solidaritas dalam MARA merupakan produk dari jalinan, mengutip istilah Robert Putnam, “dense network of associations” yang dalam situasi transisi demokrasi cenderung berfungsi memperlemah pemerintah. Dimensi ini terlihat dari beberapa ungkapan tokoh MARA, seperti, (1) MARA merupakan counterbalance terhadap DPR/MPR, (2) MARA adalah “kumpulan individu-individu bebas yang tak terkooptasi oleh state dan berani melakukan dissenting opinion terhadap rejim Orde Baru,” (3) MARA adalah aliansi yang terbentuk karena musuh bersama, (4) MARA adalah forum concern dari para intelektual kritis terhadap masa depan bangsa, (5) MARA adalah quasi partai politik, (6) MARA adalah crème de la crème-nya gerakan kaum intelektual Indonesia, (6) MARA adalah aliansi longgar yang menghimpun berbagai tokoh untuk memberi arah terhadap gerakan reformasi, (7) MARA adalah upaya memberi bentuk kepada perjuangan politik mengganti pemerintahan Orde Baru, (8) MARA adalah alternatif kepemimpinan kolektif yang dipersiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan jika sewaktu-waktu pemerintahan Orde Baru kolaps, (9) MARA adalah sebuah people council yang berfungsi mendengarkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya dalam reformasi, (10) MARA adalah aliansi demokrasi yang bersifat elitis dan berfungsi sebagai partner dari gerakan mahasiswa.

Dimensi aliansi demokrasi menegaskan salah satu karakteristik unik dari civil society, yaitu kehadiran civil society sebagai instrumen untuk melakukan aktivitas check and balances terhadap state. Gerakan solidaritas yang diusung MARA membuat aktivitas check and balances itu muncul ke permukaan dalam bentuk-bentuk fungsional, sebagaimana terungkap dalam frase-frase yang diungkapkan para pendiri MARA.

Dimensi kedua—yaitu MARA merupakan wahana kaum sipil untuk melakukan resistensi terhadap Orde Baru—merupakan sisi lain dari karakteristik civil society yang didasari oleh “civic engagement.” Gerakan solidaritas membangun kekuatan dari berbagai unsur, dan salah satu kekuatan itu bertumpu pada kepedulian dan inisiatif masyarakat sipil untuk mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan arbitrer, yang berasal dari state atau kekuatan-kekuatan bisnis raksasa.

Dimensi ketiga, dimana MARA bertujuan memperlemah dominasi negara, lebih menunjukkan aspek khusus dari gerakan solidaritas yang dibangun MARA. Berbeda dengan dua dimensi sebelumnya, dimensi ketiga menekankan pada kegiatan-kegiatan yang bernuansa politik. Gerakan solidaritas MARA sangat bernuansa politik, terutama pada saat-saat menjelang jatuhnya Presiden Soeharto. Dengan menggunakan analisis jalur, dapat ditelusuri kaitan antara peranan-peranan individual para tokoh MARA dengan institusi MARA sebagai aliansi demokrasi yang bertujuan memperlemah, atau mungkin mengakhiri, dominasi state, yang bersumber dari kepresidenan Soeharto.

Pada dimensi keempat, dimana MARA berusaha memperkuat hak-hak warga negara, karakter gerakan solidaritas muncul ke permukaan melalui penegasan terhadap agenda-agenda reformasi, dan bagaimana mendesakkan agenda-agenda itu terhadap pemerintahan Habibie, yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan Soeharto. Gerakan solidaritas pada dimensi ini muncul ketika tahap demokratisasi mulai memasuki fase konsolidasi demokrasi, yang salah satunya ditandai oleh aspirasi masyarakat untuk mendirikan partai politik.

Karakteristik MARA sebagai gerakan solidaritas sebagian memperoleh dasar penjelasan teoritik dari definisi civil society dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, seiring perkembangan proses demokratisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia. Sejak runtuhnya negara-negara komunis di Eropa Timur, menurut Foley dan Edwards, civil society memiliki pengertian-pengertian baru yang jauh berkembang dari pengertian semula, sebagaimana dipahami dalam tradisi intelektual barat. Secara sederhana, pengertian civil society mengalami “dualisme” yang dapat dikategorikan ke ke dalam dua bentuk—yaitu civil society I dan civil society II—seperti berikut:

Civil society (I) draws on the network of Toqueville and leads to Putnam, and describe the ”dense network of associations” necessary for effective democracy. Civil society is effective in improving governance when it neuters major, potentially destructive, social cleavages by crossing them with multiple, overlapping associations. Paradoxically this increases civil society independece from government, reducing its governability. Civil society is both state-enhancer and bulwark against state power. In this framework, CS can both strengthen and weaken government.

Pada bagian lain, gerakan kaum pro-demokrasi di negara-negara Eropa Timur dalam meruntuhkan rejim komunis yang otoriter, melahirkan pengertian baru tentang civil society. Pengertian ini—atau secara sederahana disebut civil society II—menegaskan pengertian bahwa,

Civil society (II) is seen as a sphere of action that is independent of the state and that is capable precisely for this reason of energizing resistance to tyrannical regime government.

Pengertian tentang civil society juga pernah mengalami beberapa tahap pengkontrasan. Misalnya, civil society dikontraskan dengan masyarakat tribal, masyarakat komunal atau feodal, dan terakhir dengan masyarakat marxis. Dengan kata lain, civil society tidak berbeda dengan state per se, tetapi berbeda dengan Marxist state atau state-state lain yang ideologinya tidak lagi memiliki pengaruh dominatif terhadap organisasi-organisasi masyarakat.

Sejalan dengan pandangan itu, Ernest Gellner menyuguhkan definisi civil society yang relatif lebih sederhana. Bertumpu pada tradisi pemikiran liberal, Gellner mendefinisikan civil society sebagai,

…a set of diverse non-governmental institutions which is strong enough to counterbalance the state and, while not preventing the state from fulfilling its role of keeper of the peace and arbitrator between major interests, can nevertheless prevent it from dominating and atomizing the rest of society.

Dalam tradisi pemikiran Marxist, sebagaimana diartikulasikan oleh Antonio Gramsci, pengertian tentang civil society tidak tersistematisasi dengan jelas. Civil society terkadang tidak dibedakan dengan state, misalnya, dengan mengatakan bahwa state adalah gabungan dari political society dan civil society, atau state dan civil society adalah satu dan merupakan “benda” yang sama. Namun umumnya, civil society dalam pandangan Gramsci merupakan sebuah hegemony politik dan budaya dari kelompok masyarakat tertentu terhadap seluruh kelompok masyarakat lainnya.

Secara khusus, Gramsci menguraikan bahwa civil society beroperasi tanpa melalui pengenaan “sanksi-sanksi” atau “kewajiban-kewajiban” yang dipaksakan, akan tetapi turut menyisipkan terjadinya tekanan kolektif sehingga mampu mendapatkan hasil-hasil yang obyektif dalam bentuk evolusi adat istiadat, cara berpikir, dan perkembangan moralitas.

Berlatar belakang konsep “hegemony,” Gramsci mendefiniskan civil society—yang kehadirannya dipandang masih merupakan bagian kecil dari negara kapitalis—sebagai,

the hegemonic apparatus of one social group over the rest of the population.

Bagian menarik dari gagasan Gramsci adalah civil society dikaitkan dengan “crisis of authority” ketika kelas penguasa kehilangan konsensus-konsensus yang dibangunnya, dan karena itu kekuasaannya melemah, sehingga satu-satunya cara mempertahankan dominasi kekuasaan adalah dengan menggunakan kekerasan. Menurut Gramsci, fenomena munculnya crisis of authority ini sebagian merupakan akibat kegagalan civil society.

Kajian teoritik yang luas ini telah memberi landasan yang kuat untuk menelusuri peranan MARA sebagai sebuah gerakan solidaritas. Ketiadaan basis yang kuat dari civil society di Indonesia, dibarengi dengan masyarakat yang amat terfragmentasi, baik pada tingkat elit maupun massa, mengakibatkan gerakan MARA mengalami kekaburan-kekaburan, dan akhirnya hanya dipahami masyarakat sebagai gerakan elitis semata. Kekaburan-kekaburan itu juga sulit dihindari, terutama jika dikaitkan dengan kontestasi di internal MARA, dimana terdapat aspirasi-aspirasi yang berbeda, namun masing-masing bebas berkembang.

Betapapun juga, gerakan solidaritas itu, meskipun terjadi pada tingkat elitis, namun sulit sekali jika dikatakan kehilangan keterkaitan dengan massa. MARA memang tidak membangun linkage dengan, atau tampil memimpin massa. Namun jalinan aliansi demokratis yang longgar dan elitis itu, sesungguhnya terbentuk berdasarkan pluralisme faktual, yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Pos terkait